Bab 5 : Loser Love

391 31 4
                                    

Sepatah katapun, aku tak pernah mengungkapkan cinta pada seseorang. Terdengar ironis, tapi inilah realitas cinta seorang introvert.

~•●•~

Lomba berpuisi dilaksnakan di gedung Auditorium UPN Veteran. Dengan kapasitas 2000-4000 orang, ruangan ini terbilang ramai. Kurang lebih 300 orang di ruangan ini adalah peserta lomba, sedangkan sisanya adalah penonton.

Sebagian peserta lomba sudah tampil lebih awal, sebab lomba ini sudah dibuka sejak pukul 08.00 WIB. Sedangkan aku mendapat bagian sesi sore, maka aku tidak mengikuti acara ini sejak pagi.

Lihat, para peserta yang sudah kusaksikan, mereka benar-benar berjiwa penyair; Ketepatan ekspresi, kinesik, artikulasi yang jelas, dan penghayatan yang dalam,  itu mengaggumkan. Aku seperti demam panggung, mereka tidak akan mudah ditandingi, mungkin saja aku akan terhempas di urutan terbawah, tapi seharusnya bukan itu yang kupikirkan. Aku akan berpuisi dari hati, tanpa memikirkan kompetetif  persaingan.

Bagiku berpuisi bukanlah hal yang perlu dilombakan, puisi itu subjektif, setiap orang memiliki pandangan berbeda tentang puisi. Tidak semua orang menyuakai puisi bermajas hiperbola, atau mereka tidak suka puisi yang pembawaannya terlalu melonkolis, lemah gemulai, atau bergaya seperti orang berpantomim.

Kau sudah pernah melihat gaya soarang penyair ternama ketika berpuisi? Supardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, Gus Mustofa Bisri, dan beberapa penyair ternama lainnya. Mereka berpuisi dengan santai, memegang selembar kertas, berhadapan dengan tongkat standing microfon, lalu membaca puisi tanpa banyak bergerak. Tidak ada yang mengkritik cara berpuisi mereka, justru banyak orang menyukainya.

Tapi hal itu akan berbeda jika diterapkan dalam sebuah kompetisi. Peserta lomba puisi yang akan menang adalah peserta yang paling ekpresif dalam pembawaannya. Walaupun sesungguhnya tidak semua orang menyukai itu, sebagian orang akan mengatakan itu adalah hal yang dilebih-lebihkan, sebagian yang berlawanan akan mengatakan 'itu tepat dan mengaggumkan'. Itulah mengapa aku katakan bahwa puisi adalah penilaian subjektif, sudut pandang manusia berbeda-beda. Bagaimanapun, puisi adalah kebebasan, kau bebas mengekpresikam apa saja, kau bisa berpuisi dengan beragam gaya, tidak ada hal baku dalam puisi.

So, aku tidak mengincar juara.
Keikutsertaanku di acara ini adalah bentuk dedikasiku terhadap puisi.

"Baik, peserta dengan nomor urut 230 adalah Arfan Faizan." Seorang MC menyebut namaku. 

Jantungku bergetar ketika mendengar namaku dipanggil.

Gita menepuk pundakku. "Dipanggil tu," ujarnya tersenyum. "Semangat!"

"Doain ya biar lancar," kataku sambil tertawa pelan.

Ia tersenyum lagi. "Siap!" katanya.

Aku melangkah menuju panggung. Kakiku bergetar ketika hendak menaiki tangga panggung. Kulihat wajah-wajah orang itu, tatapannya skeptis. Aku menarik nafas, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang kuhadapi bukanlah alien-alien luar angkasa, tentu bukan. Mereka hanyalah ratusan manusia sepertiku. Jadi, kenapa harus nervous?

Aku tatap balik para penonton, meyakinkan diri dan mencoba untuk menghilangkan keraguan penonton.

Akan kumulai puisi ini.

"AKU ITU APA?" Seruku, menyebut judul puisi yang akan kubawakan. "KARYA ARFAN FAIZAN." Penuh dengan penekanan.

Seisi ruangan hening.

Kumulai bait pertama.
"SERING KU TANYA PADA DIRIKU.
AKU ITU APA?
SEORANG LELAKI YANG TAK TAU RAPI,
SEORANG CULUN YANG TAK SUKA PARTY." Awalan yang cukup meyakinkan. Kupikir kali ini mimik dan gestur tubuhku tepat.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang