hari ini kebodohan sudah dianggap komedi, ketika orang lain melakukan kesalahan, bukannya dikoreksi tapi justru ditertawakan.
~•~
Untuk para kumpulan murid bodoh di kelas. Apakah kamu pernah berpikir bahwa bangku sekolah adalah ketidakadilan untukmu? Apakah kamu sempat berpikir bahwa pelajaran hitung-menghitung tidak cocok untukmu tapi sesuatu memaksamu untuk mengerjakan itu? Apakah kamu berpikir bahwa sekolah bukanlah tempat belajarmu, tapi di sanalah kamu justru merasa tersiksa? Kalau kamu berpikir demikian, kamu adalah temanku. Aku bahkan lebih sering mendapat luka memar sepulang sekolah dari pada pengetahuan baru di otak.
Ya aku adalah temanmu jika begitu. Mari berkenalan, namaku Arfan, Arfan Naufal Faizan. Nama ini diambil dari bahasa arab. Arfan artinya kecerdasan, Naufal artinya tampan, dan Faizan artinya pemimpin. Dengan kata lain, ketika aku lahir orang tuaku mengharapkan diriku akan tumbuh sebagai anak yang cerdas, tampan, dan berjiwa pemimpin. Sesungguhnya itu adalah harapan orang tua pada umumnya.
Jujur saja, walau namaku memiliki arti yang sangat baik, tapi kepribadianku tidak mencerminkan arti dari nama itu.
Yang pertama dan yang utama, aku bukanlah anak yang cerdas. Aku adalah anak bodoh yang sering menertawai diri sendiri ketika melihat fakta bahwa aku langganan mendapat ranking terburuk di kelas.
Murid lain juga sering menertawai kebodohanku, apalagi ketika aku tak berkutik mendapatkan pertanyaan dari guru sejarah, ketika itu juga akan ada lelucon tanpa sengaja melucu, dan seisi ruang kelas akan tertawa. Begitulah, hari ini kebodohan sudah dianggap komedi, ketika orang lain melakukan kesalahan, bukannya dikoreksi tapi justru ditertawakan.
Lihatlah nanti ketika ibuku mengambil rapotku lalu malihat barisan nilaiku; 6, 7, 5, 4, hanya mapel Bahasa Indonesia yang terkadang mendapat nilai 9, sisanya selalu mengecewakan. Saat itu juga ibuku akan memasang wajah masam, lalu menggerutu memaki-maki diriku ketika tiba di rumah. "Kamu memalukan, nilaimu jelek, kamu tidak mendengarkan ibu, kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu, kamu pemalas," begitulah kata-kata yang akan terlontar ketika melihat nilaiku. Mungkin itu wajar, apalagi ibuku adalah seorang guru. Akan sangat malu ketika mempunyai anak bodoh sepertiku.
Kau lihatlah beberapa waktu lalu, ketika pak Seno menghukum diriku karena tidak mengerjakan tugas rumah. Sesungguhnya itu sudah terjadi berulangkali. Sekalipun aku mengerjakan tugas, percuma saja, aku akan tetap dihukam, sebab nilai matematikaku tidak akan pernah mencapai KKM kecuali jika aku mencontek.
Tidak hanya di kelas, sebagai makhluk sosial aku adalah jajaran orang plonga-plongo yang ketika berada di tengah-tengah perkumpulan masyarakat becusnya hanya mematung, membisu, diam seperti benda mati. Bahkan ketika manusia di dekatku membentak karena sikapku yang aneh, yang aku lalukan; membisu, memasang wajah sedih, sedikit gemetar karena takut, dan itu terkesan tidak memiliki harga diri. Inti dari penjelasan ini adalah, aku bukanlah anak cerdas yang diharapkan orang tuaku.
Yang kedua, tentu saja aku sering bercermin, dan cermin tidak pernah mengatakan bahwa "Arfan adalah anak yang tampan", tentu saja tidak, itu terdengar sangat mustahil.
Lihat wajahku sekarang; hidung kecil, mata bulat, rambut berantakan, kulit coklat, dan tentu ini tidak terkesan tampan. Ini hanyalah wajah standar dari kebanyakan orang-orang Indonesia. Bahkan babarapa orang kejam berani blak-blakan mengatakan bahwa wajahku ini jelek, burik, hitam, blablablabla. Padahal yang mengatakan hal itu juga belum tentu tampan, mungkin bisa jadi lebih burik dariku, itulah contoh manusia yang jarang bercermin.
Seumur hidupku, hanya satu orang yang mengatakan "kamu tampan Arfan", dia adalah ibuku. Dan itu hanya satu kali, di hari ulang tahunku yang ke-17. Aku pikir saat itu ibu sedang berbohong agar aku bahagia.
Yang ketiga, aku bukanlah sosok yang memiliki jiwa pemimpin. Aku hanyalah seorang introvert yang jauh dari keramaian masyarakat. Jujur saja, aku lebih suka menulis puisi di dalam kamar daripada harus membaur dengan orang-orang lalu mengobrol sesuatu yang tak kumengerti. Mereka seringnya membicarakan wanita, game, atau hal-hal remeh yang mereka alami sehari-hari. Entah rasanya aku tak ingin membicarakan hal semacam itu, aku lebih tertarik mendengar sudut pandang orang lain tentang kehidupan, tentang rencana hidup, tentang ide.
Beberapa orang mengatakan bahwa aku adalah anak kurang pergaulan, sisanya menyebutkan fakta dengan kata-kata "Arfan anak Mama", yah itu adalah kata-kata fakta bukan kata-kata merendahkan. Semua manusia adalah anak mama, bukankah seperti itu? Apakah aku terlihat polos? Yah anak introvert memang selalu terlihat polos.
Lalu apa masalahnya? Ketika aku berdiam di dalam kamar, apakah aku menggaggu orang lain? Tentu tidak! Kenapa orang-orang itu menyudutkan diriku seakan-akan aku salah? Apakah terlahir sebagai introvert adalah salah? Bahkan jika aku tak dilahirkan pun tak masalah, aku tak meminta untuk dilahirkan jika kehadiranku memperburuk kehidupan mereka.
Apakah aku lebih buruk daripada anak-anak tukang keluyuran yang gemar membawa alkohol murahan itu? Coba sebutkan sesuatu dariku yang membuat mereka terganggu!
Aku adalah seorang introvert, aku bukan anak cerdas, bukan anak tampan . Aku hanyalah manusia yang tidak selamanya bisa mewujudkan ekapektasi manusia, termasuk orang tuaku.
#bersambung
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa vote
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Anak Bodoh
General FictionSeorang anak remaja bernama Arfan bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun dalam kehidupannya ia mengalami banyak masalah; kegagalan cinta, ketidak sukaannya pada sistem pendidikan di Indonesia, dan orang tuanya tidak mendukung dirinya menjadi se...