Bab 18 : Menjelang UN

151 20 0
                                    

Dari dulu sedulu-dulunya, yang mencontek tetaplah anak bodoh, tidak berubah sedikitpun stigma orang lain terhadap tukang contek; anak bodoh.

~•●•~

"Bagaimana dengan Mayang? Katanya kau bertemu dengannya," tanya Lawai sembari mengunyah mie ayam.

"Dia udah pergi," ujarku menatap kursi kantin yang biasa disinggahi Mayang ketika jam istirahat.

"Maksudmu?" Lawai masih belum paham juga. Raut wajahnya penuh dengan tanda tanya.

"Dia udah nggak di Sangatta lagi." Kujelaskan lebih rinci.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Ayahnya memaksa dia jadi Wanita simpanan untuk melunasi hutang-hutangnya."

Lawai menghela nafas, lalu mengusap-usap dadanya. "Wah wah... Mayang pasti sangat tersiksa."

"Sekarang dia bisa menjalani kehidupannya lebih baik."

Lawai menyeruput kuah mie ayam yang tersisa, lalu menoleh kepadaku lagi. "Pergi kemana dia?"

Aku menggelengkan kapala sembari menyeruput es teh.

Sejurus kemudian, aku teringat rencanaku yang muncul di tempo hari ketika aku terbaring meriang. Aku ingin menyampaikan ini kepada Lawai, tapi belum tersempatkan. Detik ini juga aku teringat rencanaku itu.

"Ujian Nasional sebentar lagi akan tiba, meski kita terhitung anak bodoh," aku menyengir. "Kita harus berusaha menghadapi UN. Aku ingin mengajakmu belajar kelompok setiap pulang sekolah," ujarku.

Lawai palah tertawa. "Sejak kapan kau memikirkan pelajaran?"

Aku memasang wajah datar, suara tawanya sedikit menjengkelkan. "Tinggal jawab aja. Mau atau nggak?"

"Mau-mau, ide bagus untuk anak bodoh seperti kita," umpatnya sembari tertawa.

Entah, rasanya aku juga ingin berubah. Aku ingin belajar, setidaknya untuk waktu menjelang Ujian Nasional ini. Setelah itu, aku akan fokus menulis lagi.

Aku ingin nilai ujuan nasionalku tak memalukan. Tak bisa juga mengharapkah hasil contekan, aku tak ingin melakukannya lagi. Tak pernah ada hasil yang memuaskan ketika nilai itu diperolah dari hasil mencontek, meskipun kita mendapat nilai 80 atau lebih, jika itu mencontek tetap saja itu adalah nilai 0 yang dimanipulasi. Tak ada juga juara paralel di sekolah karena kepintarannya dalam mencontek.

Dari dulu sedulu-dulunya, yang mencontek tetaplah anak bodoh, tidak berubah sedikitpun stigma orang lain terhadap tukang contek; anak bodoh.

Aku merencanakan ini "melakuakan belajar kelompok" kerena aku pikir nilai UN adalah untuk seumur hidup. Apabila anak cucuku melihat nilaiku yang buruk, mau ditaruh di mana mukaku ini. Setidaknya jika hasilnya tak sesuai ekpektasi, ada cerita dibalik nilai itu; perjuangan menjelang UN. Dan bisa kuceritakan kepada anak cucuku.

Aku berkata seperti ini karena aku beru menyadarinya. Apa yang dicapai  Adam sedikitnya membuat hati batuku melunak, bahwasanya suara hati belum tentu baik untuk kehidupan diri sendiri. Jika kita terkekang oleh saran atau perintah orang lain, mungkin hati kita bisa lunak ketika melihat kehidupan orang lain. Sejujurnya begitulah fungsu indra penglihatan, tanpa kita sadari sejoli mata ini telah mengamati kehidupan orang lain untuk mengambil energi postif sebagai bahan evaluasi diri.

Meski begitu, tak semata-mata kesadaranku merubah pandanganku terhadap sistem pendidikan Indonesia. Jika buruk tetaplah buruk. Tak pula saran orang tuaku itu sudah kuanggap baik untukku, aku masih bersekokoh untuk menjadi penulis.

Begitulah, banyak hal buruk pada diriku yang mungkin harus kubenahi, tapi keteguhanku tak akan lekang oleh apapun. Sampai detik ini aku masih menatap tujuan hidupku yang sudah kurancang jauh-jauh hari.

~•●•~

Sepulang sekolah, aku belajar di rumah Lawai. Hal pertama yang kami pelajari adalah matematika. Dari 20 soal yang kami kerjakan, hanya 4 soal yang berhasil kami temukan, sisanya membuat kepalaku migrain. 4 soal itu pun belum tentu benar jawabannya.

"Ahh! Kenapa sulit sekali!" keluh Lawai. Ia menjambak-jambak rambutnya.

Aku membuang buku palajaran matematika itu. "Aku nggak mau lihat ini lagi," kataku sambil tertawa. Lalu terbaring di atas ranjang. "Tuhan! Kenapa harus ada matematika di dunia ini?"

Kalang kabut dengan matematika, akhirnya kami beralih mempelajari ilmu Fisika. Tak berbeda juga, fisika juga membuat kepalaku pusing. Tapi Lawai tampak tersenyum-senyum. Ah kenapa dia tersenyum? Tak pula sekonyong-konyong menjadi pintar ketika tersenyum-senyum hai Lawai!

"Apa ni, untuk apa menghitung kecepatan apel yang jatuh dari pohon?" Tampangnya terlihat beloon.

"Orang bodoh mana paham untuk apa," kataku tertawa. "Itu teori gravitasi yang ditemukan Isaac Newton," jelasku.

Lawai menengok ke arahku. "Gravitasi?"

"Ah kayak orang idiot aja, gravitasi kok nggak tau." Aku mendorong lehernya.

Dia membalas, mendorong bahuku dengan sikunya. "Memang aku jarang mendengarkan penjelasan guru, jarang juga membaca buku pengetahuan," ucapnya dengan wajah kesal.

"Kalau nggak ada gravitasi, badan kita melayang-layang."

"Seperti layang-layang?" tanyanya terdengar begitu lugu.

"Ah susah menjelaskan!" sarkasku. Ripuh juga menjawab pertanyaan anak ini.

"Wah tau semacam itu juga kau," ujar Lawai tersenyum. Kemudian bertepuk tangan.

"Anak SD pun tau apa itu gravitasi,"

Lawai menggaruk-garuk kepala. Sedangkan aku kembali fokus memikirlan soal-soal di hadapanku.

"Bodoh boleh, tapi sesekali bacalah buku pengetahuan," ujarku. "Aku tau tentang gravitasi, tapi tak tau rumus kerjanya."

Lawai tertawa lagi. "Kita memang anak-anak bodoh."

"Ssssst, jangan begitu. Anak bodoh jangan mengaku bodoh, jadilah seperti anak tampan yang nggak pernah mengaku tampan," ujarku sembari manatap soal-soal fisika di hadapanku. "Kita bodoh di sekolah, tapi jangan bodoh di luar sekolah." Aku menepuk pundaknya. "Kamu dan aku punya bakat sastra, kita harus kembangkan bakat kita supaya nggak dipandang bodoh lagi oleh orang lain."

"Ah, Arfan. Kau memotivasiku." Lawai memelukku. "Aku lebih semangat lagi menjalankan hidup," ujarnya.

Aku melepaskan pelukannya. "Ayo lanjutkan belajar. Hari ini nggak apa-apa berpusing-pusing ria."

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang