Bab 24 : Dua Kegagalan

163 18 0
                                    

Salah satu hal yang membuat diriku seperti orang yang sangat bodoh adalah cinta. Hanya hal begitu saja bisa membuatku sedih berminggu-minggu.

~•●•~

Satu minggu yang lalu, aku mendapat E-mail dari pihak UI, AKU GAGAL MASUK UI, nilai ujianku tak cukup bersaing dengan peserta lain. Hal ini sudah kuduga, tapi kabar ini sudah tak terlalu menyakitkan sebab pertemuanku dengan Samuel membuat jalan pikiranku agaknya berubah. Jauh sebelum itu, aku sangat medambakan kampus UI sebagai tempat studyku agar bisa satu tempat dengan Gita, tapi sekarang aku tak menginginkan itu. Aku bahkan berencana untuk menghilangkan hingar bingar Gita dari imajinasiku. Mulailah merencanakan hal baru, tujuan tempat study baru, dan melupakan tentang cinta.

Salah satu hal yang membuat diriku seperti orang yang sangat bodoh adalah cinta. Hanya hal begitu saja bisa membuatku sedih berminggu-minggu.

Bulan ini saja aku gagal dua kali; gagal masuk UI, dan gagal mengejar cinta, nestapa di Jakarta. Tapi aku tak mau berlarut dalam kesedihan. Dua minggu setelah penolakan itu, aku gerak cepat untuk mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta sekitar Jakarta Pusat, masih mengambil jurusan yang sama.

Dan itu mudah saja. Pada awal bulan September 2019, di Jakarta, jadilah aku sebagai Mahasiswa Baru Jurusan Sastra Indonesia.

Satu-satunya teman dekatku adalah Satrio, dia orang Blora yang tentu saja menyukai sastra. Si kutu buku ini setiap hari selalu menenteng buku, tiada hari tanpa membaca, maka tak heran jika ukuran kacamatanya begitu lebar. Cita-citanya sederhana; menjadi editor buku di penerbit ternama.

Aku bertemu dengan Satrio ketika tiba di kos-kosan untuk pertama kali. Karena kami memiliki hobby yang hampir serupa, maka tak sulit untukku manjalin hubungan yang erat dengannya. Dia juga seperti Introvert yang sering menyendiri di pojokan ruangan sembari mebaca buku.

"Kenapa Editor buku?" tanyaku ketika ia mengatakan ingin menjadi seorang editor, sembari berjalan menuju kos-kosan.

"Aku sangat mencintai buku, tapi aku belum memiliki ide untuk membuat sebuah buku. Karena itu, aku ingin berkontribusi menjadi seorang editor."

"Wah itu bagus, pemikiran yang nggak biasa."

"Fan." Satrio berhenti melangkah, begitupun aku. "Jadilah penulis yang handal, nanti aku yang akan jadi editormu," ujar Satrio lalu merangkul pundakku. "Aku sudah membaca karyamu."

"Gimana menurutmu?"

"Aku suka dengan karyamu, aku suka dengan pembahasan yang anti meanstream. Tapi satu kekurangannya, terlalu miskin diksi."

"Editor sebelumnya juga bilang gitu." Aku dan Satrio melangkah lagi.

"Aku yakin si, kamu punya potensi besar, tinggal bagaimana kamu mengembangkan bakatmu dan bersabar."

Aku tersenyum mendengar kata-kata Satrio. "Ya.. aku mau terus belajar."

"Dan... aku sarankan, sering-sering bacalah novel Pramoedya Ananta Toer," katanya dengan lugas.

"Kenapa?" Aku terbingung.

"Kamu belum pernah membaca karyanya?"

"Aku pernah baca yang Bumi Manusia, dan dua kelanjutan dari buku itu."

"Ah bagus," gumamnya. "Gaya tulisanmu itu sedikit mirip dengan gaya tulisan milik penulis beken itu, mungkin jika kamu sering membaca karyanya, akan memudahkan dalam merangkai karya tulismu."

"Ah betul juga," kataku. "Terimakasih sarannya."

~•●•~

Aku manjalani prodi sastraku dengan menyenangkan, tidak begitu stress seperti ketika ripuh memikirkan lembaran-lembaran akuntansi. Malah aku menjadi salah satu murid unggul di prodi ini. Tak jarang Mahasiswa lain memujaku karena aku piawai merangkai kata-kata. Beberapa orang bahkan heran kenapa aku tidak lihai mencari wanita, "padahal dengan kata-kata indah itu bisa membuat cewek klepek-klepek," kata mereka. Ah tapi gadis sekarang tak luluh hanya dengan kata-kata gombal, mereka mencari yang mapan atau setidaknya tampan.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang