Bab 16 : Anak Bodoh yang Disekolahkan

202 18 1
                                    

Aku harus mengatakan ini. Aku menyukaimu. Meski aku sudah mencoba menahannya, tapi aku tidak mampu lagi. Sekarang, aku ingin mengatakan ini. Aku ingin mencintaimu.

Day6 - I Like You

~•●•~

Sejak kejadian di bianglala itu, aku benar-benar sulit tidur.  Jantungku berdetak kencang tiap kali mengingatnya. Belakangan ini wajah Mayang seperti delusi yang sering kali mengganggu pikiranku. Sungguh kecupan manis itu masih terasa di bibir ini. Otak mesumku bergumam, "kapan lagi bisa dicium perempuan? Adegan di bianglala itu pasti tidak akan terlupakan. Yang pertama kali selalu tak akan terlupakan, itu adalah ciuman pertamaku."

Aku berkaca, mengenakan kemeja putih dibalut jaz hitam, menyisir rambut, lalu kupandang wajahku dalam pantulan cermin. "Aku hanya laki-laki biasa, tidak tampan, tidak pintar, biasa saja. Apakah aku sudah pantas dicintai?" tanyaku dalam hati. "Siapa yang mencintaiku? Jangan besar hati. Mayang belum pernah mengatakan cinta padaku, Gita juga sudah menolak perasaanku."

"Arfan, ayo berangkat!" Ayah memanggilku.

Sejenak aku harus melupakan hingar bingar kecupan itu. Hari ini aku izin tak sekolah, aku akan datang ke acara wisuda kakakku. Kabarnya dia menjadi lulusan terbaik di fakultas ekonomi Universitas Mulawarman. Ayah pasti bangga dengan prestasi kakakku.

Pagi ini juga aku langsung ke Samarinda menggunakan mobil sedan. Ayahku mengemudi sembari senyam-senyum, dia pasti sangat bangga pada anak pertamanya itu.

"Kau juga harus seperti kakakmu si Adam itu. Mulai sekarang harus giat belajar, tingkatkan nilaimu," ucap Ayah.

Ayah tidak ada bedanya dengan Ibu, hanya cara mengutarakannya yang sedikit lebih lembut. Acap kali membicarakan nilai sekolah jika sudah membahas pendidikan.

Setibanya di aula UNMUL, kakakku langsung menyambar memeluk ayahku. Ia terlihat gagah mengenakan toga wisuda.

"Selamat, ayah bangga padamu." Ayah memeluk dengan hangat sambil menepuk-nepuk pundak kakak.

"Terimakasih Ayah!"

"Jangan puas diri, tetap rendah hati, berusaha untuk selalu menjadi lebih baik lagi."

"Siap Ayah."

Ayah mengelus rambut Kakak. "Anak Ayah," ujarnya.

Kakak mengalihkan pandangannya kepadaku. Ia tersenyum. "Hai," sapanya. "Lama nggak ketemu. Gimana kabarmu?"

"Baik," jawabku.

"Ibu juga apa kabar?"

"Baik juga."

Kemudian ia kembali memalingkan wajah, lalu berbincang-bincang dengan ayah. Dia terlihat sempurna.

Pada waktunya ia dipanggil  ke atas panggung, lalu diberikan sebuah piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik fakultas ekonomi UNMUL. Atas pencapaiannya, ia berhak mendapatkan beasiswa S2 di salah satu perguruan tinggi negeri Malaysia.

Entah bagaimana caranya menjelaskan perasaanku saat ini. Melihat pencapaian Kak Adam rasanya senang dan bangga, tapi di lain sisi ini seperti mimpi buruk. Kakak seperti menendangku ke jurang, dan aku disuruhnya manatap ke atas tanpa sehelai kain.

Begitu juga dengan perlakuan kasih sayang yang sebanding lurus dengan prestasi. Kakakku ini memang selalu menjadi kebanggaan orang tua. Prestasinya bahkan sudah melampaui ekspektasi ayah dan Ibu. Dialah si jenius turunan dari keluarga ayah yang memang rata-rata sudah menjadi orang beken sesuai dengan ekspektasi leluhur-leluhurnya dulu. Soal matematika, jangan ditanya lagi, kak Adam adalah pakarnya. Semasa sekolahnya dulu, dia sering kali mendapat peringkat 1, mewakili sekolahnya dalam berbagai kejuaraan academy, dan tak jarang membawa pulang sebuah piala untuk sekolahnya.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang