Bab 17 : Ada yang Hidupnya Labih Berat

138 17 1
                                    


Barangkali aku memang harus sering-sering melihat ke bawah, dan menyadari bahwa bukan hanya kehidupanku yang penuh masalah, melainkan ada manusia yang hidupnya lebih berat dariku, dan aku tak sepantasnya terus mengeluh seperti manusia yang tidak pernah diberi makan oleh Tuhan.

~•●•~

Mayang Sari dan Ahmad Adam Farhani, dua nama itu belakangan ini seringkali membuat ripuh pikiranku. Yang satu jatuh cinta padaku, membuatku kalang kabut menanggapinya. Yang satu lagi mendapatkan prestasi akademynya, sedangkan aku masih saja dipertemukan dengan kegagalan.

Aku sampai terbujur lemas di kasur memikirkan dua hal itu. Kepalaku puning, badanku lemas. Aku meriang.

Hari itu juga aku tak berangkat sekolah.

Sehari kemudian Lawai datang ke rumahku. Ia membawa bubur ayam untukku.

"Kenapa bisa seperti ini?" tanya Lawai.

"Sedang banyak pikiran," jawabku masih terbaring lemas di kasur.

"Kalau gitu refreshkan pikiranmu." Ia malah tertawa. "Lagi pula apa yang kau pikirkan? PR saja tak pernah dikerjakan. Heh apa yang kau pikirkan?"

"Heh gila! Orang sakit diajak ngobrol. Nanti aku ceritakan kalau aku sudah sembuh."

"Makanlah nih bubur ayamnya biar segera pulih." Lawai menaruh bubur itu di atas meja belajar.

"Mayang nggak ikut?" tanyaku melirik-lirik sekitar kamar.

Lawai terkekeh. "Kenapa tanya Mayang? Kau naksir Mayang kan? Ayolah mengaku."

"Aku nggak mau bercanda. Kepalaku pusing. Jawab saja pertanyaanku."

"Sejak kemarin Mayang nggak berangkat sekolah. Aku kira kalian bersekongkol," ujarnya tertawa.

Aku mengerutkan dahi. "Kenapa dia nggak berangkat sekolah?"

"Tidak tau. Tidak ada keterangan. Coba kau telephon saja."

Aku segera mengambil ponsel di atas bantal. Aku mencoba menghubungi Mayang melalui ponsel, tapi ia tak mengangkat. Lalu mencoba meninggalkan pesan melalui WhatsAp, tapi checklist. Kepalaku kembali ripuh dibuatnya. Kenapa Mayang bolos sekolah?

Sedangkan Lawai kini sebuk memainkan ponselnya, tak lama kemudian ia berpamitan untuk pulang. "Cepat sembuh. Besok harus sudah berangkat sekolah," ujarnya sebelum melangkah ke luar kamar.

"Semoga aja," balasku.

Sehari kemudian aku berangkat ke sekolah. Bangku di sebelahku hampa tak berpenghuni. Mayang hari ini tak datang lagi. Aku mencoba untuk mencari ke kantin sampai ke warung Sosis, tapi Mayang tidak ada di situ juga. Entah sebenarnya ada apa dengannya.

Sepulang sekolah aku mendatangi rumahnya, barangkali ia sakit atau ada alasan lain kenapa ia tak berangkat sekolah. Namun ketika hendak sampai di depan rumahnya, aku melihat Mayang berjalan dengan laki-laki paruh baya.

Mayang mengenakan dress merah dengan belahan dada rendah. Mereka berdua -Mayang dan pria paruh baya- sedang berjalan menuju mobil sedan hitam, sedangkan laki-laki paruh baya itu tampak merangkul pinggang Mayang. Ia mengenakan setelan hitam-hitam. Ah siapa pria paruh baya itu? Sudah keriput masih menggandeng perawan pula.

Mata Mayang terlihat berkaca-kaca. Ia sempat melihat ke arahku sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil sedan itu.

Aku benar-benar terkejut melihat pemandangan ini. Sebanarnya rumor yang dikatakan Lawai benar adanya. Tapi aku tak ingin mengambinghitamkan Mayang. Mungkin ada hal yang mendesak dirinya untuk melakukan hal ini.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang