Tanpa keajaiban, pecundang akan selalu gagal dalam segala hal yang ia pecundangi, termasuk cinta.
~•●•~
Aku dan Gita duduk menunggu kedatangan Hisyam yang akan kami wawancarai, sedangkan Hebi sedang sibuk memasang kamera pada tripodnya. Kami bertiga berada dalam satu ruang, tepatnya di studio jurnalistik, tempat anak-anak jurnalistik melakukan aktivitas yang menyangkut pada barang elaktronik dan teknologi digital seperti kamera, radio, rekaman audio, dan progam komputer yang bersangkutan dengan jurnalistik. Selain itu, tempat ini sering digunakan untuk mengundang para tamu yang akan kami interview.
Organisasi kami diberi keleluasaan dari sekolah untuk memanggil siapa saja yang akan diwawancara, hasil wawancara akan kami posting di youtube dan instagram dalam bentuk vidio, dan kami pasang di majalah dinding dalam bentuk tulisan.
Seseorang memutar gagang pintu. Itu adalah Hisyam. Hidung mancungnya muncul lebih dulu dari sela pintu.
"Hai," sapanya tersenyum.
"Hai Hisyam," balas Gita, tampak girang. Tangannya melambai-lambai.
Hisyam menyalami kami bertiga, gelagatnya tampak ramah.
Ya kini aku paham, belakangan ini dirinya memang digandrungi banyak cewek. Bagaimana dirinya tidak menjadi pujaan para perempuan? Dia tampan, ramah, dan terlihat anak berotak pintar.
"Sudah menunggu lama?" tanyanya.
Gita tangkas menjawab, "oh enggak, kami juga baru saja," ujarnya.
"Oh Gitu." Hisyam tersenyum
Dia murah senyum. Mungkin sebentar lagi aku akan menyaksikan senyuman-senyuman dua manusia rupawan; antara Hisyam dan Gita. Mungkin akan terlihat romantis.
"Jadi, kita di sini santai kan, nggak yang baku banget?" tanya Hisyam.
"Oh ya tentu, ini bukan acara horror atau debat politik," cetus Gita. Kemudian ia tertawa mendengar leluconnya sendiri.
Hisyam tertawa pelan. "Kayanya, Horror nggak baku deh," ucap Hisyam di tengah desisan tawanya.
"Ya, horror nggak baku, tapi menegangkan."
"Ya, itu baru bener." Hisyam menyeringai. "Sudah nonton Train To Busan?" tanyanya.
Kini ia justru mengajak untuk membahas film korea. Ya ampun!
"Ya, itu film yang menegangkan," ujar Gita.
"Ya aku sampai menangis."
Gita berhenti tertawa. "Menangis?" wajahnya terheran-heran. "Menangis karena sangat takut?"
"Bukan, bukan itu. Aku menangis karena karakter utamanya jadi zombie."
Hisyam dan Gita kompak tertawa. Selain hobi tersenyum, tampaknya selara humor mereka sama. Ruang studio ini menjadi ramai dengam gelak tawa mereka.
Aku dan Hebi seperti nyamuk yang tengah melamun mendengar dengkuran tawa dua orang ini. Hebi lebih baik karena ia bisa berpura-pura bermain kamera, tapi aku harus pura-pura menjadi patung di tengah obrolan Gita dan Hisyam.
"Oke, bisa kita mulai interview?" tanyaku, mengheningkan suasana.
Hisyam memandang ke arahku. Tampak ia tidak suka dengan nada bicaraku. "Ya, ayo kita mulai," ajaknya. "Gimana? aku harus memperkenalkan diri?"
"Ya, perkenalkan diri di hadapan kemera."
"Oke," ujar Hisyam. Ia manghadap kemara. Lalu seperti biasa, ia tersenyum. "Halo semua! Nama saya Hisyam Syahril Mahendra, umur 17 tahun, saya kelas 11 akuntansi 1."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Anak Bodoh
General FictionSeorang anak remaja bernama Arfan bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun dalam kehidupannya ia mengalami banyak masalah; kegagalan cinta, ketidak sukaannya pada sistem pendidikan di Indonesia, dan orang tuanya tidak mendukung dirinya menjadi se...