Bab 9 : Jangan Heran

221 22 3
                                    

Semua orang itu jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh

- Albert Einstein -

Seiring berjalannya waktu, jarak antara diriku dan Gita seakan hanyalah 5 cm. Kami menjadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama; belajar bereng, makan bareng, pulang sekolah bereng, ngantin bareng, dan barbagi pengetahuan. Ya walaupun pengetahuanku hanya menyangkup di bidang sastra saja.

Mungkin kupikir menjalin ikatan sahabat seperti ini akan lebih baik daripada pacaran. Menghabiskan waktu sepanjang waktu tanpa kata 'putus', sebuah kata yang identik dengan pacaran. Tapi di lain sisi, aku tidak ingin Gita dimiliki orang lain. Aku plin plan.

"Kamu mengidolakan Albert Einstein?" tanyaku ketika melihat ruang belajar Gita penuh dengan gambar-gambar wajah Albert Einstein, sedangkan sisanya adalah gambar-gambar wajah ilmuan yang kurang familiar di mataku. Beberapa di antaranya ada 1 foto Bapak Akuntansi Dunia yaitu Luca Pacioli.

"Ya," katanya tersenyum ke arahku dengan mata yang berbinar. "Sangat mengidolakan." Ia mengelus gambar wajah Albert Einstein itu.

"Kalau gitu, sama dong," ucapku. "Aku juga suka Albert Einstein."

Aku tak mengada-ada. Dari dulu aku memang mengidolakan sosok Albert Einstein, bukan karena ia seorang ilmuwan, tapi karena pemikirannya membuat sedikitnya mengubah pandangan hidupku.

"Sudah kuduga Arfan," ucapnya. Ia masih memandang ke arah gambar itu. "Novel yang kamu tulis itu konsepnya mirip-mirip dengan apa yang pernah Albert sampaikan."

"Apa itu?" tanyaku. Menengok ke arahnya.

"Semua orang itu jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh," ujarnya.

Aku tertawa. Itu adalah kata-kata favoritku. "Dan ikan akan merasa bodoh untuk selamanya karena nggak bisa manjat pohon."

"Betul!" serunya. "Monyet juga, jika disuruh ikut lomba berenang, dan jika ia mau, itu adalah monyet bodoh." Ia tertawa. "Yang nyuruh juga bodoh."

"Ya," aku tersenyum.

"Kamu tau nggak Fan?" Ia berhenti tertawa. Wajahnya serius.

"Apa?" tanyaku, ikut menghentikan tawaku.

"Kata-kata itu membuat kita tau," ujarnya.

"Hmmm."

"Sepertiga penghuni bumi itu bodoh, karena sering memaksa orang untuk tidak sesuai dengan tempatnya, sepertiga lagi masih bingung dimana tempatnya, dan semoga sepertiganya lagi adalah orang-orang dengan pemikiran seperti Albert Einstein," ujar Gita. Bahasanya sedikit sulit dipahami oleh manusia awam.

Itu adalah potensi, itu yang dimaksudkan Gita. Banyak manusia yang tidak berada pada potensinya; berkemampuan sastra tapi berpendidikan akuntansi, berbakat seni tapi tapi rutin belajar fisika di ruang laboratorium, berjiwa atlet tapi ripuh memikirkan tugas seni budaya. Ya begitulah realitanya. Kita sebut saja mereka adalah manusia-manusia bodoh, oh tidak bodoh juga hanya saja mereka melakukan apa yang bukan mereka kuasai.

Yang lebih parah lagi ada yang tidak tau apa potensinya. Lalu ketika ditanya 'kedepannya mau kemana?' pasti jawabannya adalah 'masih bingung'. Atau ketika ditanya 'mau ngambil jurusan apa?' jawaban terburuk yang pernah terdengar, 'ikut-ikut teman'. BODOH!!

"Yah," kataku tertegun mendengar penjelasan Gita. "Itu betul. Harusnya ikan tempatnya di air, dia berenang. Salah besar kalau disuruh manjat pohon." Aku tertawa lagi. Siapa manusia bodoh yang menyuruh ikan memanjat pohon? Dasar bodoh!

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang