Bab 25 : Hari yang Tak Terlupakan

170 19 1
                                    

semakin dewasa, akan semakin terasa perubahan hidup

~•●•~

Beberapa hari lalu, Lawai datang ke kos-kosanku. Dengan wajah yang penuh keringat, ia menarik koper besar menuju ruang kamarku.

"Ambilkan aku minum," pintanya. "Aku haus sekali."

Aku mengambil sabotol air mineral dari kulkas, lalu keberikan kepada Lawai.

"Kenapa banyak sekali bawaanmu?" tanyaku dengan terheran-heran.

"Kan aku sudah bilang, aku akan tinggal di Jakarta untuk waktu yang lama," jawabnya. Ia tampak masih begitu kelelahan. Nafasnya terlihat memburu tak teratur.

"Aku nggak nyangka kamu bakal tinggal di kosanku."

"Yaahhh, mau di mana lagi kalau tak bersama kau," gumamnya.

Sejak itu, Lawai memutuskan untuk tinggal satu kos denganku. Ia lantas bekerja menjual nasi goreng menggunakan gerobak miliknya yang dikirim dari kampung halaman melalui kantor pos. Ia bekerja setiap senja tiba hingga malam hari di kota metropolitan ini. Sesekali masih menghadiri acara-acara sastra jika ada undangan atau jika jadwal telah tiba.

Kerap kali ketika ia berangkat untuk jadwal manggung, aku mengatakan padanya kalau aku ingin bergabung dengan grup sastra itu. Namun katanya "tunggu ada audisi lagi baru bisa bergabung, itu pun jika lolos."

Semula kutanya, "apa orang sepertiku boleh bergabung dengan grup sastramu?" tanyaku ketika ia baru sampai di kosanku.

"Bolehlah, kau kan pandai berpuisi." Ia sedang melipat baju-bajunya, lalu ditaruh dalam lemari kecil.

"Kalau begitu, aku ingin bergabung."

Lawai menengok ke arahku. Menatap, memandang simpati. "Tak bisa kalau gabung sekarang, tunggu ada audisi lagi. Itu pun jika kau lolos," ujarnya, lalu kembali marapikan pakaian-pakaiannya. Sejurus kemudian ia menengok ke arahku lagi dengan senyuman. "Ah! Kalau kau sepertinya lolos."

"Kapan ada audisi lagi?"

Lawai menggelengkan kepala. "Belum tau," ujarnya.

"Oh begitu."

"Ngomong-ngomong, gimana kabar novelmu? Sudah mau diterbitkan kah?"

Aku terbujur lesu mendengar pertanyaan itu. Mengingat kegagalan rasanya seperti mati rasa, hidupku seperti tak berarti. "Belum ada yang mau menerbitkan," ujarku.

~•●•~

Agustus, tahun 2022.

Sebuah hari yang tak terlupakan untuk Hebi dan Mayang serta orang-orang terdekatnya. Di hari itu juga, tepatnya di Gedung Auditorium LPP Yogyakarta, mereka melangsungkan acara akad nikah dengan berbahagia.

Tak kusangka, pertemuannya dulu rupanya adalah jembatan untuk melangsungkan kehidupan berkeluarga. Memang sejak pertama kali mereka bertemu, aku tau dari mata mereka ada percik-percik asmara.

Aku bersama Lawai datang ke acara mereka dengan rasa berbunga.

Hebi rupanya memang sudah menjadi jutawan, acaranya ramai nan megah, bahkan ia memberikan mahar sebuah mobil untuk Mayang.

Aku hanya menggigit jari mendengar berita itu. Hebi yang dulu sempat mendorong-dorong gerobak dan dipandang sebelah mata, kini banyak orang yang melirik. Rupanya memang benar, jika sudah sukses tak perlu memburu wanita, karena wanita-wanita itu sendiri yang akan menghampiri kita.

Aku jadi ingat ketika kami -aku dan Hebi- berdua berbincang-bincang di atap rumah. Kala itu Hebi mengatakan "mana ada cewe yang suka sama tukang nasi goreng kayak aku". Kala itu ia mengatakan dengan mimik wajah yang sedih. Namun aku membalas menyemangatinya, "suatu hari nanti, katika kamu sudah jadi boss nasi goreng, cewe-cewe yang akan mendekatimu," ujarku. Dan hari ini terbukti. Bahkan ia sudah menjadi sukses melebih ekspektasiku.

Ah Hebi, kawanku ini luar biasa. Jujur saja kini aku berkaca-kaca karena terharu. Aku benar-benar turut berbahagia atas keberhasilan Hebi.

Selain diriku, Gita juga nampak hadir di acara itu. Ia berdiri menggandeng Samuel sembari berbincang-bincang dengan Hebi di tengah ruangan.

Namun tiba-tiba matanya tertuju padaku. Senyumnya mengisyaratkanku agar aku mendekatinya. Sedangkan Samuel tampak sudah tak berada di dekatnya.

Karna tak enak hati, aku pun mendekati mereka -Gita dan Hebi- bersama Lawai yang mengekoriku dari belakang. Lalu sedikit memasang senyum palsu agar tampak bahagia, walau sejujurnya tidak.

"Apa kabar Fan?" tanya Gita ketika aku tiba di hadapannya. Lalu ia menjabat tanganku.

Disusul dengan pelukan hangat Hebi. "Kamu nggak bilang-bilang kalau udah sampai," gumam Hebi.

"Aku baik seperti biasa," jawabku. "Kalian apa kabar?" Sejujurnya, mataku sedikit berkaca-kaca ketika menatap wajah Gita. Wajahnya tak berubah sama sekali. Ahh seharusnya aku tak patut seperti ini? Dia sudah milik orang lain.

"Baik," jawab Gita dengan senyuman yang berbinar.

"Aku sangat baik dan sangat gembira," ujar Hebi.

"Ngomong-ngomong ini siapa?" Mata Hebi tertuju pada Lawai yang berdiri di belakangku. Menatap lamat-lamat ke arahnya.

Aku menoleh pada Lawai. "Oh ini Lawai, temanku sewaktu di Sangatta."

Mereka berdua - Hebi dan Gita- lantas menjabat tangan Lawai dan menyebut namanya masing-masing.

"Btw, selamat ya Bi atas pernikhanmu, semoga langgeng," ucapku pada Hebi.

"Makasih Fan," ujarnya. "Semoga kamu cepat menyusul." Ia tersenyum sembari merangkulku.

Tak lama setelah perbincangan singkat ini, Hebi dipanggil oleh seseorang. Ia pun menghampirinya.

Lalu tak lama setelah itu, prosesi ijab kabul dilaksanakan. Mayang yang sedari tadi tak kulihat, kini muncul di hadapan orang-orang dan tengah duduk di samping Hebi. Ia tampak menawan dengan setelan kebaya dan riasan pengantin adat Jawa. Senyumnya terus memancar dari wajahnya, dia terlihat begitu bahagia. Aku gembira melihatnya.

Prosesi Ijab Kabul terlaksana dengan lancar. Kini Hebi dan Mayang telah sah menjadi pasangan suami istri. Aku hanya bisa berdo'a, semoga mereka bahagia bersama hingga maut menjemput. Meski aku harus merelakan Hebi, pastinya hubungan kita berdua akan tersekat oleh adanya keluarga barunya.

Yahh Dunia kami memang sudah berubah, semakin dewasa, akan semakin terasa perubahan hidup kita.

#bersambung


Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang