Bab 10 : Seringkali Seperti Ini

178 19 2
                                    

Memang seringkali seperti ini. Hidup seringkali seperti ini. Yang kita harapkan banyak halangan, terlalu sulit diwujudkan. Yang tidak kita harapkan bisa dengan sekejap terjadi, kadang buruk dan kadang baik. Memang seringkali seperti ini.

~•●•~

Hari ini aku mendapat kabar bahagia. Ibu memperlihatkan nilai raportku. Nilai rata-rataku naik dari yang 69,5 menjadi 69,8. Setidaknya meningkat walau hanya 0,3.

"Jangan berbangga dulu, nilaimu hanya naik 0,3," ujar Ibuku. Tak ada seulas senyum darinya, wajahnya masih seperti biasa; bengis. Setidaknya kali ini saja ia tidak akan memaki-maki diriku. "Masih untung bisa naik kelas," ujarnya lagi.

"Ya," kataku, berusaha untuk tidak menjawab kalimat pahitnya. Tidak menatap wajahnya juga.

Bukankah sedari dulu Ibu hanya menginginkan nilai raportku naik? Ia tidak pernah menargetkan nilai yang harus kucapai. Mungkin saja ia tak pernah memberi target karena aku tak akan pernah bisa mencapai targetnya.

"Tingkatkan lagi," katanya.

Di koridor lantai 2, terlihat Gita sedang berjalan menuju tangga barat sekolah. Jalannya sedikit terhuyung-huyung dan wajahnya murung. Ia sedang memeluk buku raportnya.

"GITA!" teriakku, tak tahu malu! Aku benar-benar tak sabar ingin segera memberi kabar baik ini, bahwa aku sudah hampir pasti menjadi pacarnya. Akan kutunjukan lembar raport semester ini, bagaimana nilai rata-rata raportku benar-benar naik.

Gita tak menoleh sedikitpun, mungkin ia belum mendengar.

"Siapa?" tanya ibuku. Tapi aku benar-benar sudah tidak bisa mendengarkan ocehan ibu, dan tidak perduli.

Aku berlari. Segera menghampiri Gita.

"Hai," sapaku ketika berhadapan dengannya.

Ia menatapku. Matanya sayu, ekspresinya lesu. Apakah dia belum makan? Atau ada yang salah dengan diriku?

Aku membuka buku raportku. Lalu kutunjukan barisan nilai raportku semester ini. Aku merasa sangat antusias.

"Kamu lihat ini?" tanyaku dengan senyuman lebar. "Nilai rata-rataku naik." Aku melompat-lompat kegirangan.

Ia tersenyum. Tampak itu tidak setulus yang biasa kulihat. "Selamat Arfan!" serunya.

"Bagaimana-bagaimana? Apakah kita sudah bisa menjalin hubungan pacaran hari ini?"

Ia menggelengkan kepala. Masih dengan ekpresi yang lesu. Entah apa yang terjadi padanya.

Aku pikir ia akan bahagia mendengar kabar ini, ternyata tidak juga. Aku akan tetap berpikir positif, barangkali ia sedang datang bulan. "Jadi kapan kita bisa memulainya?"

Ia kembali menggelengkan kepala. "Nggak akan bisa," jawabnya. Entah kenapa kalimat itu rasanya menusuk hati.

Seketika moodku memburuk. Ada firasat buruk di hati. "Maksudmu?" tanyaku dengan ragu.

"Nggak bisa Arfan." Ia menundukkan kepala. "Maaf, nilai rata-rataku turun semester ini," ujarnya.

Ini sungguh di luar dugaanku. Aku tidak mengerti. Apakah ucapan Gita benar? Apakah ia bohong? Padahal sempat kudengar kabar bahwa ia berhasil mendapat rangking 2 RPL paralel di semester ini.

"Boleh aku lihat nilaimu?" tanyaku.

Gita melempar raportnya ke arah dadaku, lalu kutangkap dengan sigap. Wajahnya semakin murung. Aku tau, ini pasti berat untuknya.

Kubuka buku raport Gita. Tertulis rata-rata nilai raport semester ini adalah 94, sementara rata-rata nilai di semester sebelumnya adalah 95,5. Rata-ratanya turun 1,5.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang