Bab 7 : Kepastian

238 22 0
                                    

Berdiam diri hanya akan menimbulkan kecemasan tanpa klimaks apapun. Semua hal perlu aksi untuk mendapatkan kepastian, walau kadang kepastian itu beraroma pahit

~•●•~

Gita memulai perdebatan pagi hari ini dengan argumennya yang begitu panjang.

"Saya punya banyak teman di SMA yang sekolahnya menerapkan sistem Fullday School. Mereka mengatakan pada saya, katanya sangat tertakan dengan waktu yang hanya dihabiskan untuk belajar, dan kebanyakan dari mereka hanya memepelajari teori. Dimana jika murid tidak menyukai pelajaran teori yang disuguhkan oleh guru, itu akan sangat sulit sekali dicerna oleh murid. Tentu saja akan sulit, jika murid tidak menyukai mata pelajaran tersebut. Tapi anehnya guru terus memberi tugas rumah, padahal padahal 2/3 waktunya sudah dihabiskan di sekolah. Harusnya itu sudah cukup digunakan untuk belajar, tidak perlu diberi tugas rumah lagi, itu hanya akan membuat murid semakin tertekan. Dan ketika menerima raport sekolah pun rata-rata nilainya tidak kunjung membaik juga. Sistem Fullday school tidak membuat murid pintar, justru sistem ini hanya membuat murid tertekan. Logikanya, bagaimana ilmu bisa masuk jika pikiran kita tertekan," ujar Gita.

Penonton bertepuk tengan mendengar argumennya. Beberapa orang berteriak 'setuju!'.

Aku sendiri tertegun mendengar argumen Gita. Entah ini pemikirannya atau pemikiran kelompok debatnya. Yang pasti, Aku tak menyangka ternyata orang pintar seperti Gita memiliki pendapat yang serupa denganku. Aku kira selama ini hanya anak bodoh sepertiku yang menganggap sistem Fullday School adalah sistem pembelajaran khusus untuk para robot.

Tapi kenapa mereka menerapkan sistem ini untuk kami? Tidakkah mereka berpikir bahwa kami adalah manusia biasa yang membutuhkan istirahat, merelaksasikan otak, dan membutuhkan waktu untuk mengembangkan bakat atau sekedar mencari potensi diri. Setidaknya, jangan berikan tugas rumah kepada murid, jika setengah waktunya sudah mereka habiskan di sekolah; dari pagi hingga sore.

Dari tim lawan, mereka menyanggah pendapat Gita. "Tapi, Sistem full day school lebih memungkinkan terwujudnya intensifikasi dan efektivitas proses edukasi. Full day school dengan pola asrama yang tersentralisir dan sistem pengawasan 24 jam sangat memungkinkan bagi terwujudnya intensifikasi proses pendidikan dalam arti siswa lebih mudah diarahkan dan dibentuk sesuai dengan misi dan orientasi lembaga bersangkutan, sebab aktivitas siswa lebih mudah terpantau karena sejak awal sudah diarahkan. Jadi, sistem ini akan sangat efektif untuk proses kegiatan edukasi." Gemuruh tepuk tangan penonton kembali bergema, tapi tidak seramai saat ketika mendengarkan arguman Gita.

Kini giliran Hisyam menanggapi argumen lawan. "Ya saya setuju," ujarnya. "Sistem Fullday school memang akan sangat efektif untuk proses kegiatan pembalajaran, tapi aku kira hanya itu keunggulannya. Bagaimana dengan efektifitas penyerapan ilmu bagi murid-murid? Oke, mungkin ini akan menyenangkan bagi mereka yang mengukai pelajaran akedemy, itupun kemungkinannya juga tidak besar. Lalu bagaimana dengan mereka yang menyukai pembelajaran di luar akademy seperti menulis, menari, melukis, bermain musik, dan lain sebagainya? Bagi mereka ini adalah beban, tidak akan ada ilmu yang bisa dicerna ketika ilmu itu sudah dianggap sebagai beban. Dan lebih parahnya, sistem Fullday school hanya akan membunuh bakat mereka. Waktu yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan bakat justru dihabiskan untuk mempelajari hal lain yang mungkin tidak mereka sukai. Belum lagi jika ada tugas menumpuk, ini adalah tekanan besar. Dan ini sangat merugikan. Sistem Fullday school sangat merugikan untuk murid yang bakatnya berada di luar akademy," ujar Hisyam dengan lantang. Seketika gemuruh tepuk tangan menggema kembali, kali ini sangat ramai.

Jujur saja, aku selalu berpemikiran serupa dengan Hisyam. Aku berfikir, jika saja aku berada di sekolah dengan sistem Fullday School, aku yakin bakat menulisku akan terhambat. Bahkan jika itu terjadi, mungkin sampai detik ini aku baru saja menyelesaikan outline novel pertamaku tanpa menulis satu pun paragarafnya.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang