Bab 12 : Begitulah Manusia

178 16 3
                                    

Diam ketika ditindas adalah bodoh.

~•●•~

Sejumlah pendemo, pembuat onar di halaman sekolah pada tempo hari kini dikumpulkan, berbaris di tengah lapangan. Sebagian pendemo yang berkoar-koar di tempo hari tak menampakan wajahnya. Mereka adalah orang-orang yang sudah berpegang janji; bila suara murid tak didengar, maka putuslah hubungan mereka dengan sekolah. Akan disesali jika keputusan itu tak dibicarakan dulu dengan orang tua, memang anak sekarang dinilai terlalu memikirkan diri sendiri. Tapi memang tak seharusnya sekolah menjadi derita. Bukankah sekolah adalah taman belajar? Tapi jika taman itu tak cocok untuknya, wajarlah jika mereka pergi. Bukan begitu kawan?

Satu jam sudah kami dijemur di bawah terik matahari ini, sebetulnya mau dijadikan apa kami ini? Lama kami menunggu orang-orang berbaju hijau itu, apa yang akan mereka bicarakan? Pastinya kami akan diberi hukuman atas aksi kami di tempo hari. Tak menutup kemungkinan kami akan dikeluarkan dari sekolah ini. Ah persetan! Dikeluarkan saja, tak masalah! Mau dikata apa lagi? Memang sekolah telah menjadi derita. Banyak dari kami yang pergi ke sekolah bukan karena sekolah itu sendiri, melainkan karena ingin bertemu teman-teman. Bukan pula sekolah yang membuat kami setiap hari ke tempat ini, tapi temanlah yang menarik kami untuk pergi ke tempat ini. Jika banyak teman yang keluar dari sekolah ini, maka kami pun akan keluar. Kini SMK Gantara adalah derita bagi murid bodoh seperti kami, tapi kami masih dapat merelaksasikan bersama teman. Jika teman tak ada, maka enggan untuk bersekolah lagi.

Tak lama kemudian, Pak Budi datang, membawa pengeras suara di tangan kanannya. Lalu mulai berkata-kata. "Assalamulaikum wr.wb," ujarnya. "Langsung saja, tidak usah berbasa-basi. Menanggapi aksi kalian pada tempo hari, yang berhasil merusak salah satu fasilitas sekolah. Yah, itu luar biasa, kalian menunjukkan demokrasi yang baik sebagai rakyat Indonesia. Tapi perlu diketahui, bahwasanya sudah banyak sekolah yang menerapkan Sistem Fullday school, lalu ketika kami ikut menerapkan sistem tersebut, sebenarnya itu wajar, itu sudah selayaknya. Kalian hanya perlu beradaptasi saja, jangan cengeng, jangan manja. Banyak palajar yang sudah merasakan sistem ini, dan mereka tidak rewel seperti kalian, tidak melakukan demo seperti kalian. Bersikaplah dewasa. Semua yang kami putuskan sudah melalui pertimbangan yang sulit, dan pada akhirnya kami kira menerapkan sistem Fullday School adalah keputusan yang tepat. Ini semua juga untuk kebaikan kalian. Jadi saya mohon, jangan lagi malakukan aksi yang justru memalukan sekolah dan diri sendiri. Kalian hanya perlu beradaptasi. Dan yang terakhir, perlu diketahui bahwa siswa siswi yang malukan aksi kemarin hingga berhasil merusak salah satu fasilitas sekolah, dikenai poin 50 dan hukuman. Mungkin itu dari saya. Terimakasih, wassalamualiakum wr. wb."

Tak lama kemudian, Pak Seno datang menghadap kami, membawa sebilah tuding. Sudahlah, pasti kami akan puas diacak-acak olehnya, dijadikan ikan teri dengan tudingnya itu. Lain waktu ketika tuding itu tergeletak bebas, akan kuambil dan kupatahkan, atau jika bisa kupakai untuk mematahkan tulang-tulang majikannya.

Mata Pak Seno mulai setajam macan. Ia bergerak cepat, mulai dari anak kurus kerempeng dipojok barisan, dipukulnya pantatnya keras-keras hingga 3 kali. Bargesar ke sebelahnya, dipukulnya pahanya keras-keras hingga ia berteriak histeris. Pak Seno terus bergeser memukul-mukul murid-murid didiknya secara bergantian. Hingga pada giliranku, ia memukul pantatku dan pahaku keras-keras sampai 10 kali lebih. Batapa ia sering melihatku dihukum, sampai ia sangat membenciku dan memukulku berkali-kali tanpa ampun. Apa dia ingin membunuhku?

Pada pukulan ke-21, aku berhasil menangkap sebilah tuding di tangan kanan Pak Seno. Kurebut secara paksa tuding itu, lalu kudorong badan Pak Seno hingga tersungkur. Emosiku meledak-ledak. Kupukul-pukul badan Pak Seno dengan tuding itu. Ia mengerang-ngerang kesakitan, ia mencoba menghindari pukulanku, lalu berlari. Aku mencoba mengejarnya, tapi seseorang berhasil menahan gerakanku. Direbutnya tuding di tangan kananku. Aku
berusaha keras melepas tangan yang menahan gerakanku, tapi semakin lama semakin banyak orang-orang yang menahanku. Hingga pada akhirnya seseorang berhasil meredakan emosiku.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang