Bab 19 : Kekang

134 22 5
                                    

Kalau kamu ingin meresapi sebuah ilmu, kamu harus mencintai ilmu tersebut.

~•●•~

Sangatta, 2018..

Pertengahan tahun 2018, aku lulus dari sekolah. Mendapat peringkat 75 dari 150 murid jurusan akuntansi. Lawai lebih parah lagi, ia mendapat peringkat 133 dari 150 murid jurusan akuntansi. Walau begitu buruknya, tetapi sejujurnya kami sudah berusaha, ada sebuah cerita perjuangan di balik nilai burukku ini.

Peringkat yang kudapat ini sebenarnya tak buruk untukku pribadi, tapi jika diukur dari pencapaian kak Adam, tentu ini sangat buruk. Tidak masuk akal jika diriku dikekang untuk mengejar pencapaian kak Adam, itu sama saja dengan seekor ikan yang dipaksa untuk memanjat pohon.

Kami -aku dan kak Adam- tentu ada sebuah sekat perbedaan jika dilihat dari bakat dan kebiasaan. Tapi Ayah benar-benar tak piawai mengamati perangai dua anaknya ini. Ia masih berkeras hati agar anaknya melakukan apa yang ia inginkan, seperti menjadi anak yang berprestasi salah satunya.

Bahkan ia tak berkata apapun ketika melihat barisan nilaiku. Wajahnya datar,tak sedikitpun menengok ke arahku saat acara pelapasan kelulusan siswa-siswi. Aku benar-benar membuatnya kecewa.

Sejujurnya aku sudah berusaha, belajar ala kadarnya setiap pulang sekolah bersama Lawai, tapi aku tetaplah anak bodoh. Tidak ada hal lain yang bisa kukerjakan kecuali mengarang cerita, di luar itu aku hanyalah anak bodoh yang seringkali kelabakan jika dihadapkan dengan soal-soal akademy.

Tapi kenapa harus nilai yang selalu menjadi patokan keberhasilan seorang pelajar? Kenapa tidak ada yang lain? Yang semacam ini terkadang membuatku bertanya-tanya. Buruknya, terkadang nilai akademy juga menjadi patokan kebahagiaan seseorang. Seperti yang sedang kurasakan, mungkin juga ayah.

Aku benar-benar terpuruk.

Bahkan ketika terpuruk seperti ini, ayah masih mengekangku. Seperti yang kukatakan tadi, ia masih berkeras hati agar aku melakukan apa yang ia inginkan.

"Kau harus mengambil jurusan Manajemen seperti kakakmu," ujar ayah di ruang tengah, tepat di sofa yang menghadap televisi.

"Aku nggak mau," sarkasku. Posisiku sedang bersandar di sebuah pintu kamar.

"Kenapa?" tanya Ayah.

"Aku ingin mengambil jurusan sastra."

"Memangnya mau jadi apa di jurusan sastra itu? Prospek kerja di jurusan sastra itu tak jelas," ujarnya sembari menghadap televisi. Secangkir teh hangat tampak berdiri di meja sofa. "Kalau mau pilih jurusan jangan semaunya, harus lihat ke depannya akan seperti apa," ujarnya lagi.

"Di jurusan Manajemen pun nggak menjamin bisa lebih baik. Kuliah itu hanya jembatan agar lebih mudah mencari pekerjaan, termasuk jika mengambil jurusan Manajemen itu. Nggak ada jaminan mudah mencari pekerjaan," tegasku.

"Tapi setidaknya prospek kerjanya itu lebih jelas dan banyak." Ayah sesakali menengok ke arahku dengan wajah garang.

"Aku nggak mau disetir terus ayah! aku mau mengambil jalan hidupku sendiri!"

"Kau tak ingin seperti kakakmu itu?" Ia menatap ke arah kamar kak Adam, seakan-akan ia menunjukan dialah -Kak Adam- orang yang patut kutiru untuk jalan hidupku.

"Nggak ayah. Aku punya cara sendiri untuk sukses!"

"Kalau begitu," kata Ayah. "Labih baik kuliah mengambil jurusan Manajemen, atau tak kuliah sama sekali?" Ayah tampak mengancamku.

Aku berdiri menghadap ayah. Dari dulu ayah tak berubah, selalu begini, mengekang kehidupan anaknya. "Lebih baik nggak kuliah ayah!" sarkasku.

Lalu aku berjalan meninggalkan ayah dengan rasa dongkol.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang