Bab 8: Yang Diam-diam

244 24 9
                                    

Pengalaman manis maupun pahit akan membentuk sebuah pandangan hidup

~•●•~


"Biarkan angin menampar pipiku..
Biarkan gelap menghitamkan dunia..
Aku suka pada mereka..
Yang diam-diam menciptakan tenang..

Sebab diriku hanya pembisu...
Sang penikmat kesunyian malam..
Yang gentar pada keramaian..
Yang mematung diantara orang-orang..

Jika kau mengerti..
Jangan paksa untuk berisik..
Jika hujan tak gemercik..
Aku hanya ingin berisik..
Dalam hati yang membisik.."

1 menit yang lalu, aku telah menampilkan sebuah puisi, berpuisi layaknya seorang sastrawan.

Tapi rasanya tidak semaksimal yang kukira. Entah kenapa, apakah aku terlalu menyepelakan? Lihatlah ketika aku turun dari panggung, gemuruh tepuk tangan tidak seramai yang kuduga. Aku kira penampilanku akan lebih baik dari tahap 1 di tempo hari, ternyata tidak lebih baik juga.

"Nggak buruk." Gita tersenyum. "Walaupun tidak lebih baik deri puisimu di tempo hari," ujarnya lagi.

"Ya, mengecewakan. Aku bahkan mengharapkan yang lebih baik, tapi ketika di panggung, semuanya jadi berubah."

Gita mengelus pundakku. "Nggak apa-apa," ujarnya. "Sejak awal kan emang nggak menargetkan juara. Udah bisa berpartisipasi dalam lomba ini, sudah menyenangkan. Begitu kan?"

Aku tersenyum menatapnya. "Ya," kataku.

Hingga hasil juara lomba diumumkan, tak ada terdengar namaku disebut dalam 3 besar. Entah aku harus kecewa atau tetap bangga, tapi ada rasa sedih yang sulit dijelaskan.

Bagaimanapun aku telah berusaha. Segala sesuatunya selalu ada pelajaran; Semua bisa berusaha, semua bisa menargetkan, tapi manusia bukan dalang kehidupan, manusia tidak bisa menjadi penentu akhir dari usahanya. Apapun hasil yang diterima, tugas manusia adalah berusaha untuk kehidupan sekarang dan masa depan. Sesungguhnya, aku telah merenungkan ini sejak penolakan naskah novelku beberapa waktu lalu. Pengalaman manis maupun pahit akan membentuk sebuah pandangan hidup.

Jika tidak ada usaha, tidak akan ada hasil, mungkin ini seperti kisah cintaku yang hanya diam-diam tanpa menghasilkan apapun.

"Nggak apa-apa Fan, yang penting kamu udah berusaha," ujar Gita.

Aku tersenyum. Lalu mengangguk.

Setelah itu, kami berdua menemui Hebi yang sedang berjualan nasi goreng di pinggir jalan. Tiga hari lalu Hebi berhenti menjadi pelayan di restaurant, lalu membuka usaha sendiri. Katanya usaha barunya ini lebih menguntungkan daripada bekerja di restaurant. Salain itu, ia merasa bebas, tidak terikat pada aturan dan atasan.

"Aku kira kamu masih kerja di Restaurant Bi." Gita berangsut duduk di sebelahku.

"Enggak," gumam Hebi sambil memasak nasi gorengnya di wajan. "Kerja kaya gini lebih enak dan menguntungkan," katanya lagi.

"Gitu ya," gumam Gita.

"Ya dong, lebih bebas gitu." Hebi menaruh nasi gorengnya yang sudah siap saji ke dalam dua piring. Lalu diteburi bebarapa kerupuk warna-warni. "Kalau provit tergantung yang beli juga sih," ujarnya menanggapi Gita. "Kalau lagi sepi, nggak dapat provit." Kemudian ia mengangkat dua piring nasi goreng itu, dan manuruhnya di meja kami-aku dan Gita-. "Ini spesial buat kalian," katanya. "Silahkan dicoba."

"Kamu yakin nih enak?" tanya Gita dengan nada meremehkan.

Hebi tertawa. "Wah, wah, kamu meragukan saya?" ujarnya. "Coba aja, dijamin ketagihan." Ia kemudian melanjutkan aktifitas memasaknya.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang