Apalah arti kemewahan jika tidak membuahkan kebahagiaan, kesederhanaan lebih dari cukup jika itu menyenangkan.
~•●•~
Satu minggu setelah aku tiba di Sangatta, berangkatlah aku ke sekolah. Jaraknya tak jauh dari kediamanku sekarang. Aku berjalan kaki menempuh waktu 15 menit untuk tiba di tempat ini. Bangunannya cukup sederhana, tidak semewah sekolah-sekolah favorit di Jogja, tapi ini cukup. Bagiku, apalah arti kemewahan jika tidak membuahkan kebahagiaan, kesederhanaan lebih dari cukup jika itu menyenangkan.
Setibanya, diperkenankan aku untuk memperkenalkan diri di depan calon teman-teman sekelasku. Malunya aku, jantung berdegup seperti dihantam-hantamkan. Sebelum itu, kutatap wajah-wajah anak-anak itu. Ada yang berwajah oriental dengan kulit putih dan mata sipit seperti orang-orang tionghoa, yang kutahu mereka adalah orang-orang suku dayak modern. Ada yang berkulit hitam legam dan berambut keriting, mereka adalah anak-anak dari perantauan NTT. Sisanya adalah kulit cokelat sawo matang sepertiku, mereka adalah dari suku Kutai, perantauan suku Jawa, dan anak-anak dari perantauan Sulawesi; suku bugis & toraja.
"Hai, Nama saya Arfan Naufal Faizan. Saya pindahan dari Yogyakarta. Kalian bisa memanggil saya Arfan." Begitu perkenalan singkatku di depan teman-teman kelas.
Mereka terdiam. Hanya senyuman kecil yang bisa kutangkap sampai detik ini. Ada sedikit bisik-bisik kecil yang kudengar dari arah pojok kanan itu. Barangkali itulah kelompok biang kerok tukang gunjing di kelas ini, begitulah biasanya ada oknum-oknum di kelas yang kerjanya membicarakan murid-murid lain, entah membicarakan fisiknya, kelakuannya, pencapaiannya, atau yang sering adalah hal-hal yang sedang viral di sekolah ini. Begitulah biasanya orang yang suka bergunjing. Ah kenapa aku malah membicarakan orang-orang yang suka bergunjing?
Aku duduk di pojok kiri, bersampingan dengan murid perempuan berwajah jutek. Rambutnya dikepang dua seperti anak TK, tapi wajahnya, lihatlah dia terlihat sangat dingin.
Bisikan itu kembali terdengar. Perempuan-perempuan di pojok kanan itu benar-benar tak bisa diam. Matanya melirik-lirik ke arahku. Benar-benar begitulah orang-orang tukang gunjing.
Sedangkan perempuan di sampingku ini benar-benar tak bersuara, atau memang ia bisu. Kutunggu ia membuka suara untuk memperkenalkan diri, sampai pelajaran dimulai tak bersuara juga orang ini. Ya mungkin dia sepertiku, susah berbicara dengan orang baru.
Tak lama kemudian, seseorang menerobos pintu kelas. Murid-murid sekelas agaknya terkejut mendengar dentuman pintu itu. Bocah laki-laki berseragam lusuh, kepalanya botak, dan badannya kurus kerempeng itu benar-benar sudah membuat batin kami geger. Ia berhenti menunggungkan badan dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya nampak sedih, namun jika dilihat dari bentuk mata dan kulitnya, sepertinya ia adalah orang dayak.
"Lawai! Kenapa terlambat lagi?!" sarkas Ibu Guru.
"M-maaf bu, saya kesiangan," gumam anak bernama Lawai itu.
"Sudah, sekarang bernyanyilah atau berpuisilah di depan teman-temanmu."
Ia mencoba untuk menarik nafas pelan-pelan dan menghembuskan lagi. Lalu kembali berbicara, "Sebagai hukumannya, saya akan berpuisi!" seru anak berkepala plontos itu. Tampak walaupun ini adalah sebuah hukuman, ia begitu semangat.
"Ya, cepatlah," desak Bu Guru.
Anak itu berdiri tegap. Tatapannya tajam. Aku tahu, inilah titik dimana dia akan berpuisi.
"AKU INI BINATANG JALANG karya Chairil Anwar," suaranya begitu ditekankan. Ia akan malantunkan puisi yang begitu familiar di telinga sastrawan; AKU INI BINATANG JALANG.
"Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau," alunan yang indah untuk telingaku sendiri. Bagaimana dengan wajahnya, ia masih tampak menyedihkan."Tak perlu sedu sedan itu," lagi, aku suka dengan irama lantunan Lawai. Rasanya ingin ikut juga maju berpuisi dengannya.
"Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang.""Biar perluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang.""Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri."Tibalah pada bait terakhir. Tak sabar aku untuk bertepuk sekeras-kerasnya untuk mengapresiasi pertunjukan ini. Lawai, aku kira dia seperti akan menjadi sastrawan hebat jika bakatnya ditekuni. "Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi."Lawai membungkukan badan. Pertunjukan puisinya telah selesai. Bergegaslah aku berdiri, lalu bertepuk tangan. Benar-benar si plontos itu membuatku takjub. Aku masih berdiri bertepuk tangan, hanya aku, ya hanya aku. Orang-orang di sekitarku hanya sibuk dengan aktifitasnya, sedikit dari mereka hanya terbengong. Biar kutebak, mereka semua tidak mengerti apa itu sastra, dan orang-orang di pojok kanan itu terus bergunjing, yang mereka tau hanyalah membicarakan orang lain. Payah sekali orang-orang ini, tak tau menghargai orang lain.
~•●•~
Aku duduk di pojok kantin, memesan sepiring nasi goreng. Rasanya aku merindukan Hebi. Nasi goreng ini tak seenak buatannya.
Seseorang tiba-tiba duduk di depanku. Ia membawa semangkuk mie ayam dan segelas es teh sambil tersenyum ramah menatapku. Dia adalah si plontos itu, Lawai.
"Hai," sapanya. "Aku Lawai." Ia mengulurkan tangannya.
"Arfan," ucapku menjabat tangannya.
"Kau anak baru? Pindahan dari mana?"
"Yogyakarta," jawabku sembari memandangi semangkuk mie ayam di hadapanku.
"Wow, pantas saja." Ia tersenyum.
Aku memandangnya. "Kenapa?" sembari mengernyitkan dahi.
"Senyumanmu manis," ujarnya masih tersenyum.
Aku hanya diam. Sedikit merasa mual dengan ucapannya. Baru kali ini seorang laki-laki mengatakan senyumanku manis. Itu menggelikan, aku takut dia adalah gay. Aku menyukainya ketika berpuisi, tapi jika ia gay, aku tak ingin mengenalnya.
"Kau suka sastra?" tanyanya.
"Ya."
Ia tertawa. Benar-benar tidak jelas tawa itu dari mana. Pikiranku kembali kepadanya; antara ia gila atau gay, dua hal yang buruk.
"Kenapa?" tanyaku terheran-heran.
Ia berhenti tertawa. "Sudah kutebak, kau suka dengan sastra."
"Menebak dari mananya?"
"Gerak-gerik seorang puitis itu berciri khas."
Aku hanya diam, kembali fokus menikmati nasi goreng. Tak tau ia berbicara apa. Ia seperti sok pintar, tapi justru terkesan aneh.
"Kalau begitu, mari kita berteman. Di sekolah ini hanya aku dan kau yang menyukai sastra."
"Ya," kataku sedikit tersenyum. Tak apalah ia terlihat aneh, dia orang pertama yang terlihat ramah di sekolah ini.
Pandanganku beralih pada cewek sebangkuku yang duduk sendiri di salah satu kursi kantin. Tatapannya tampak lesu, tidak bersemangat, masih terkesan jutek dan dingin. Di depannya, semangkuk bakso hanya sibuk diaduk-aduk olehnya.
"Kau sudah berkenalan dengannya kan?" tanya Lawai.
Aku menatap Lawai, lalu menganggukan kepala. "Apa dia itu bisu?"
Lawai tertawa, lagi-lagi tidak mengenakan. "Kau kira ini sekolah tunawicara? Dia itu memang terlalu pendiam."
"Dia kayak nggak punya teman."
Seketika wajah lawai mendekat. Nafasnya terendus bau ikan asin dan sambal terasi. Aku mencoba menjauh, tapi ia terburu berbicara. "Dulu ada rumor, dia pernah ditiduri seorang hidung belang. Rumor itu menyebar di seluruh sekolah inu, sejak itu ia tak punya teman dan suka menyendiri," bisiknya di depan wajahku.
"Rumor itu benar?" tanyaku.
"Entahlah." Lawai mangangkat bahunya.
#terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa vote...
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Anak Bodoh
General FictionSeorang anak remaja bernama Arfan bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun dalam kehidupannya ia mengalami banyak masalah; kegagalan cinta, ketidak sukaannya pada sistem pendidikan di Indonesia, dan orang tuanya tidak mendukung dirinya menjadi se...