Bab 15 : Di Bianglala

143 16 6
                                    

Budaya menggunjingi orang lain masih menjadi hal yang tak terpisahkan dari mulut-mulut perempuan. Setidaknya begitulah, menggunjingi orang lain tidak akan jauh berbeda dari tindakan rasisme; keduanya adalah hal yang menimbulkan penyakit hati pada Manusia.

~•●•~

Sekolah baruku memiliki murid yang sengat beragam, baik itu suku, agama, maupun kultur fisik. Yang beragama islam, kristen, katholik, berwajah tionghoa, berkulit hitam, berwajah jawa, dan berwajah bugis serta toraja, semua bercampur di sekolah ini. Namun bila kulihat lagi, entah mungkin memang karena mataku adalah mata-mata orang jawa, bila diamati lagi tampak wajah-wajah orang jawa lebih berdominan disini. Kabarnya, memang banyak orang jawa yang merantau di tanah ini. Jika begitu, tak heran lagi aku.

Tapi tidak seperti di eropa yang diberitakan sering melakukan rasisme terhadap orang kulit hitam, atau di Jakarta yang diketahui memendam akar kebencian rasialis terhadap kelompok minoritas Tionghoa, hal tersebut tidak terjadi di tempat tinggalku saat ini. Tidak ada deskriminasi ras etnis di daerah ini. Meski begitu, tidak semata-mata daerah ini dihuni oleh orang-orang suci. Budaya menggunjingi orang lain masih menjadi hal yang tak terpisahkan dari mulut-mulut perempuan. Setidaknya begitulah, menggunjingi orang lain tidak akan jauh berbeda dari tindakan rasisme; keduanya adalah hal yang menimbulkan penyakit hati pada Manusia.

~•●•~

Aku berjalan di koridor sekolah hendak menuju WC. Jalanan koridor terlihat sepi. Semua murid tampak sudah masuk ke dalam kelas, kecuali yang mendapat jam pelajaran Penjasorkes. Rupanya, memang murid di sekolah ini cukup disiplin.

Setelah buang air, aku bergegas menuju kelas. Namun sesuatu telah mengalihkan fokusku. Seorang murid perempuan tampak sedang memanjat pagar pembatas sekolah bagian pelataran belakang. Ia kemudian melompat keluar dan tampak berlari meninggalkan sekolah. Jika dilihat dari fisiknya, sepertinya perempuan itu tidak asing di mataku.

Aku mengikuti perempuan itu, memanjat pagar pembatas sekolah dan melompat keluar. Perempuan itu ternyata hanya berjalan santai, nafasnya ngos-ngosan setelah berusaha keras memanjati pagar pembatas. Aku mengekor dari belakang, namun tanpa diduga ia menoleh ke balakang. Dialah Mayang teman sebangkuku.

"Kamu?" gumamku. "Sudah kuduga." Aku merasa canggung. Kenapa aku mengkutinya? Untuk apa? Pentingkah? Mendadak aku merasa salah tingkah.

"Kamu mengikutiku?" tanyanya, wajahnya masih saja dingin.

"A_a nggak-nggak. Aku mencari udara segar, di kelas sangat pengap." Benar-benar kelabakan menjawab pertanyaannya.

"Benarkah?"

"Ya."

Ia membalik badan. Lelu melangkah lagi. Dan aku masih mengekor di belakangnya. Untuk apa? Entahlah, perempuan ini misterius bagiku, aku penasaran padanya.

"Kamu sendiri, kenapa keluar?"

"Sekarang pelajaran matematika, aku nggak suka matematika."

"Oh begitu," gumamku.

Mayang kembali membalikan badan. Ia menatapku, tapi aku mencoba untuk menghindari tatapannya. Aku selalu merasa salah tingkah jika ditatap oleh orang baru. "Mau makan sosis goreng?" tawarnya.  Kini ia sedikit tersenyum, tapi sedetik kemudian kembali datar.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang