Bab 3 : Penolakan

518 36 2
                                    

Cita-cita terbesarku adalah menjadi seorang penulis, aku akan mengusahakan agar novelku terpajang di toko-toko buku berapapun biaya emosional yang kukeluarkan.

~•●•~

Aku duduk di kedai kopi dalam sebuah ruangan dengan kursi-kursi dan dinding berlapis sutra merah. Sesekali aku menyeruput kopi hitam yang tersisa setengah dari gelasnya. Jam dinding di atas pintu kedai itu sudah menunjukan pukul 17.30 WIB, harusnya editor penerbit itu sudah tiba 30 menit yang lalu. Apa di luar sana sedang macet parah?

Aku benar-benar tidak sabar mendengar kata-kata editor itu. Aku harap novelku bisa diterbitkan.

Seseorang dengan kemaja putih dibalut rompi hitam berjalan memasuki kedai, sebuah tas kecil hitam tercantol di bahunya. Dia tidak asing, tapi kacamata hitamnya membuat ingatanku buyar. Ia semakin mendekat, dan setelah kuamati dengan ditail, yah dia adalah editor penerbit yang aku jumpai 6 bulan lalu.

Sedikit malu ketika melihat diriku masih mengenakan pakaian batik. Ini terkesan tua, dan terkesan akan pergi ke sebuah acara resepsi pernikahan. Ya memang begitu, sepulang dari rumah Hebi, aku tak berganti pakaian. Sedangkan editor itu, lihatlah, dia sangat rapi dan tampan, padahal dia lebih tua dariku.

Dia duduk dihadapanku, lalu tersenyum. Tasnya ia taruh di kursi sebelahnya. Jujur saja ia cukup tampan untuk ukuran seorang editor novel, harusnya ia bisa bekerja menjadi model atau aktor jika berbakat. wajahnya seperti Joseph Gordon-Levitt.

"Hai, sudah menunggu lama?" tanyanya.

"Tigapuluh menit," kataku memasang wajah datar.

"Mas," panggil editor itu pada seorang pelayan.

Pelayan itu menghampiri kami. Dengan wajah yang ramah, ia menewarkan ragam jenis minuman kopi dan makanan yang bisa dipesan di kedai ini. "Silahkan mas, mau pesan apa?"

Editor itu menengok ke arahku. Kacamatanya dilepas, lalu diletakan di meja. "Kamu mau pesan lagi?" tanyanya.

"Nggak mas, makasih," ujarku.

"Kopi susu mas, satu," ujar editor itu pada pelayan.

Pelayan itu pergi. Sedangkan editor itu kemabali menatap wajahku.

"Mas siapa? Saya lupa namanya." Ia menanyakan namaku.

"Arfan mas, " jawabku.

"Oh mas Arfan."

"Jadi gimana mas?"

Ia menengok ke arah pelayan yang tengah membawa beberapa cangkir kopi. "Gimana apanya?" tanyanya.

"Novel saya."

"Oh novel kamu, bentar-bentar, tunggu kopinya datang. Kita nggak buru-buru kan?"

Aku sudah duduk lebih dari 20 menit di tempat ini. Aku hanya ingin mendengar jawabanmu MAS EDITOR! Tentu saja aku tidak buru-buru, tapi aku sudah bosan berlama-lama di tempat ini. Pantatku sudah terlalu hangat menempel di kursi ini. Bisakah dia mengerti perasaanku? Kamu -editor- kira menunggu selama 30 menit adalah hal yang menyenangkan? Ayolah masuk ke pembahasan inti saja, tidak perlu basa-basi.

Pelayan kedai datang. Lalu meletakan secangkir kopi susu pesanan Mas Editor. Beberapa detik kemudian ia menyeruput kopi susu itu, kemudian pandangannya kembali beralih kepadaku. "Mas Arfan," ucapnya. "Santai saja, jangan tegang, minum dulu kopimu."

"Iya." Aku enyeruput kopi yang sudah menyisakan ampasnya saja. "Jadi gimana mas novel saya, diterima atau nggak?"

Ia diam, seperti sedang merangkai kata-kata. Lalu mengambil naskah novelku dari tasnya, ditaruhnya naskah itu di atas meja. Selang 30 detik, ia menjawab pertanyaanku. "Gimana ya njelasinnya," gumamnya.

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang