16. Our Story

29.3K 2.8K 106
                                    

Hujan mengguyur deras, meredam isak tangis yang masih terdengar menyayat. Kesedihan mendominasi suasana hati dan gadis itu masih terbenam dalam duka yang mendalam.

Tera melangkah membawa satu nampan. Ada sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. Ia tahu, sedari pagi Alexa belum makan.

"Alexa, makan dulu, ya. Dari pagi tadi kamu belum makan." Tera menatap sang kakak dengan segala rasa trenyuh. Tentu sangat menyakitkan ada di posisinya. Butuh waktu untuk menerima kenyataan sepahit ini. Butuh waktu untuk benar-benar bisa berdamai dengan kegetiran ini.

Alexa membisu. Ia merasa semangat hidupnya telah hilang. Sang ibu yang begitu ia sayang dan ia harap bisa benar-benar sembuh agar bisa tinggal bersama lagi, kini telah berpulang selamanya. Ibunya yang memang memiliki riwayat sakit jantung meninggal karena serangan jantung. Semua serasa begitu cepat. Satu yang ia sesalkan, ia merasa sang ibu belum pernah sekalipun merasakan kebahagiaan dalam hidupnya hingga ajal menjemput.

Atmosfer kepedihan sejak suasana pemakaman pagi tadi masih terasa perihnya hingga malam ini. Alexa lebih banyak merenung di kamar. Serpihan kenangan yang tiba-tiba melintas semakin menggoreskan luka di hatinya. Luka yang terakumulasi menjadi tumpukan luka yang entah kapan akan benar-benar terhapus.

"Atau mau aku suapin?" Tera menyodorkan sesendok nasi ke mulut Alexa. Gadis itu menggeleng pelan.

Tera meletakkan kembali piring itu. Ia tak tahu lagi bagaimana cara menghibur sang kakak. Papa dan ibu tirinya sudah mencoba untuk menghibur Alexa. Gadis itu justru enggan bertemu papa dan ibu tirinya. Alexa masih kecewa dan menyimpan amarah yang luar biasa pada sang ayah juga ibu tirinya.

Tera tahu, hanya Sagara yang bisa menghibur gadis itu. Cowok satu itu hanya menemani Alexa sampai siang. Ia pamitan karena tak enak hati jika terlalu lama menemani Alexa. Tera pun sungkan jika harus meminta Sagara untuk datang lagi. Mungkin Alexa memang butuh waktu untuk sendiri dulu.

******

Tiga hari pasca duka itu, Tera, Alexa, Ida, dan Dekha diboyong Farhan ke rumah barunya. Alexa terpaksa mengikuti kemauan Farhan. Jauh dalam hati, ia tak akan pernah bisa menerima pernikahan Farhan dan Dira.

Atmosfer di ruang makan itu terasa begitu kaku. Masing-masing terfokus pada makanan di hadapannya, tapi tidak dengan Alexa yang memilih untuk mendiamkan makanan itu.

"Alexa, ayo dimakan nasinya. Berapa hari ini kamu makan cuma sedikit sekali. Kamu harus jaga kesehatan." Dira tersenyum lembut, berusaha mendekatkan diri dengan sang anak tiri.

Alexa tak menjawab. Mendengar suara Dira saja menerbitkan rasa benci, bagaimana harus menjawabnya? Ia bahkan enggan melihat wajah Dira dan selama ini ia selalu bersikap cuek serta tak pernah menganggap keberadaan ibu tirinya.

Farhan menatap wajah Alexa yang tampak pucat. Ia tahu, anak sulungnya masih berduka.

"Sayang, ayo dimakan. Sedikit sedikit tak apa, yang penting diisi." Kali ini Farhan memohon dengan serius.

Tera mengusap punggung tangan kakaknya.

"Makan, ya. Kalau nggak diisi nanti perutnya sakit." Tera menatap Alexa sayu. Ia merasa prihatin melihat kehidupan sang kakak yang berubah drastis. Karakternya pun ikut berubah menjadi lebih pendiam dan pemurung. Di sekolah ia jarang bergaul dan tak semangat mengikuti pelajaran.

Alexa memaksakan diri untuk memakan makanannya. Farhan bisa bernapas lega kala satu sendok nasi itu masuk ke dalam mulut putri sulungnya.

Seusai makan malam, Alexa kembali ke kamarnya. Ia merasa jenuh dan butuh hiburan untuk menghibur dirinya sendiri. Rasanya penat harus menghabiskan harinya di rumah.

Bullying Survivor (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang