18. Kebohongan Baru

127 23 19
                                    

Gosip antara aku dan Kak Reza masih santer terdengar. Bahkan gosipnya sampai ketelinga para guru, dan pedagang di kantin. Banyak yang masih suka berbisik-bisik saat melihatku. Bahkan pernah aku memergoki para ciwi-ciwi tengah menggunjingku. Mereka bilang aku tak pantas untuk kak reza. Ingin marah, tapi faktanya memang begitu.

"Kan baru juga dua hari sab, jadi nggak heran gosipnya masih beredar." Tumben sekali Anggita mau menghiburku.

"Cini Bina, aku peyuk." Dan akupun berakhir dalam pelukan Kanya. "Aduh kasihannya Bina."

Tepat setelah aku memberitahu kebenarannya pada Sarah. Ia langsung memberitahu Kanya dan Anggita melalui grup chat yang kami buat.

"Lagian lo ada-ada aja sih sab, pake bikin gosip macem gini segala."

"Sttt..." sarah bertindak cepat dengan menempelkan telunjuk di bibir Anggita. "Git, kalau ngomong ati-ati. Barangkali ada yang denger."

"Maaf."

Aku menghela napas lega. Memang membagi rahasia dengan Anggita ini beresiko tinggi. Bukan karena dia ember, hanya saja kalau sedang berdiskusi di tempat yang banyak orang dia tidak bisa menjaga volume suaranya.

"Sab, gue ngerasa risih karena dari tadi banyak yang lihat kesini."

"Tenang aja Git. Mereka ngeliatin Sabina, bukan lo," ucap Sarah.

"Gue juga risih, tapi ya mau gimana lagi." Ku taruh kepala diatas meja. Bakso mang Mamat tak selezat biasanya. Ini bukan karena bumbu rahasianya diubah, tapi karena mood burukku.

"Cabar Bina, biasanya gosip begini seminggu juga udah angus." Kanya memang pandai menghibur. Kalau saja dia tidak bicara dengan logat alay, dia sudah pasti sukses menghiburku.

"Tapi dia digosipinnya sama orang yang nge top macem kak Reza, pasti lama tuh ilangnya. Ya kecuali ada gosip yang lebih hot lagi."

"Git, dulu waktu ibumu hamil suka berdiri deket kompor ya. Soalnya anaknya hobi banget ngomporin orang," kataku dengan nada malas tapi pedas.

Percakapan diantara ketiga orang itu berlanjut. Mereka terlihat asik bercengkerama sembari sesekali menyuapkan bakso kedalam mulut. Sedangkan aku terlihat begitu nelangsa.

"Bosan," lirihku. Dan sepertinya suaraku tak mencapai telinga mereka.

Ketika aku berdiri, ketiga temanku langsung menjeda kegiatan menggosip mereka. Kompak, mata mereka menatap heran kearahku. Tanpa perlu ditanya, aku pun memeberitahu mereka kalau aku merasa bosan dan ingin pergi ke perpus.

Langkahku lesu, tak bersemangat. Seperti biasa, orang-orang yang kulewati selalu menyempatkan diri untuk melirikku. Ingin rasanya ku colok satu persatu mata mereka, tapi untunglah diri ini masih memiliki sabar sebesar satu ton.

Hari ini perpus sepi pengunjung. Hanya bagian peminjaman buku saja yang ramai. Kunjunganku kali ini bukan untuk membaca buku yang berkaitan dengan pelajaran. Sabina si gadis galau ini hanya ingin melamun didalam perpus yang tenang.

Setahuku meja baca yang terletak paling belakang merupakan tempat terbaik untuk melamun, karena meja tersebut jarang sekali dipilih para pengunjung perpus. Untuk menuju kesitu, aku harus melewati beberapa rak buku. Dan siapa sangka aku akan bertemu dengan sosoknya ditempat seperti ini.

Ia berdiri tegak menghadap rak buku.Tangan kiri disimpan dalam saku, sedangkan tangan satunya memegang buku yang terbuka lebar. Tatapan matanya seolah terkunci pada buku tersebut, sehingga dia tidak sadar dengan keberadaanku yang hanya berjarak setengah meter darinya.

Sebenarnya ini kesempatanku untuk kabur sebelum dia menyadariku. Tapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan justru membangkitkan rasa penasaranku untuk mengetahui buku yang tengah ia baca.

𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜 ❝Chemistry❞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang