19. Lanjut Berbohong

104 22 4
                                    

"Sab, didepan ojol pesenan kamu? Kok cakep amet."

Siapa yang peduli dengan pertanyaan abang Fathan. Aku bergegas mencium tangan ayah, lalu pamit pergi padanya juga pada Jesica. Pada abang? tidak perlu. Lagi pula dia sibuk menatapi si pengendara motor dari balik jendela.

Begitu aku keluar rumah, kak Reza langsung menyapaku. Dia lalu melemparkan helm padaku. Untung refleksku bagus, jadi helm tak perlu mencium wajah bertabur bedak bayi ini. "Main lempar-lempar aja, emangnya manggis," gerutuku sembari memakai helm.

"Manggis?"

"Kucoba coba melempar manggis
Manggis kulempar mangga kudapat~"

"Apa sih Sab, jayus banget." Senyum mengejek terpatri di wajahnya. "Mending lo buruan naik."

"Jangan ngebut ya!"

"Tenang, gue nggak bakal ngebut kok," ucapnya.

"Kalau ngebut, aku cubit perut kakak."

"Iya sab, iya."

Sudah berapa kali ya aku dibonceng kak Reza. Tiga kali mungkin, entahlah. Tapi dibonceng olehnya terasa seperti sudah hal yang biasa.

Motor melaju. Seperti janjinya, kak Reza tidak melajukan motor dengan kecepatan dewa. Justru dia melajukan motor dengan sangat pelan. "Kok pelan banget?"

"Lo bilang jangan ngebut."

"Iya jangan ngebut, tapi nggak usah sepelan ini juga. Tuh lihat, masa motor kece gini kalah sama kecepatan orang lari pagi."

Kak Reza menaikan kecepatan. Sempurna, tidak terlalu kencang dan tidak terlalu lambat. Dengan begini aku bisa menikmati jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan bermotor.

*****

Terkejut. Baik aku dan kak Reza masih diam diatas motor menatapi orang yang tengah tersenyum pada kami. Aku tak tahu ini disebut sebagai waktu yang baik atau buruk. Tapi dengan begini, kami bisa langsung pamer kemesraan didepannya.

"Tumben kalian berdua berangkat bareng."

"Dia kan udah jadi pacar gue." Lantas kak Reza melepas helmnya. "Sab, buruan turun!"

Seketika aku lupa cara turun dari motor. Otakku tidak bisa berpikir cepat seperti biasanya. Apa ini karena kehadiran Junedi, ya Junedi yang tengah tersenyum kearahku.

"Sab buruan turun!"

"Sabar kak." Dan akhirnya aku turun dengan tidak elit.

"Helmnya sab."

"Bentar." Aku berusaha membuka pengait helm, namun tak kunjung terbuka. Ada apa denganku di pagi yang cerah secerah warna feses.

"Sini biar gue bantu."

"Biar gue aja, gue pacarnya."

Adegan klasik ini biasa di sajikan didalam drama tv, dan terlihat begitu indah. Tapi di dunia nyata justru terkesan aneh, dan lebay. Dalam hati aku merutuk, merasa jijik karena terlibat dalam operasi sabun colek seperti ini.

Tanpa menunggu persetujuanku. Kak Reza langsung membantu. Dan tak perlu waktu lama, pengait tersebut langsung lepas. Kak Reza mengambil helm tersebut, lalu meletakannya ditempat yang tepat.

"Jadi kalian beneran pacaran?"

"Iya dong." Tangan kak Reza merangkul bahuku, lalu memaksaku untuk lebih dekat dengannya. Paham kalau kak Reza hanya berpura-pura, tapi aku merasa terganggu dengan aksinya "Ya kan sab?" Aku mengangguk sembari tersenyum canggung. Setitik rasa bersalah muncul dihati.

𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜 ❝Chemistry❞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang