28. Berakhir

190 22 20
                                    

Bangun-bangun bukannya segar, kepalaku malah pening bukan main. Efek begadang mungkin. Kira-kira aku tertidur sekitar jam tiga pagi. Tidak ada Pr dengan deadline mendesak, aku hanya sibuk melamun dan menyesali kegagalan untuk membondong mendali.

Usai melamun cukup lama, aku melakukan rutinitas pagi. Mandi, pakai seragam, sarapan, kemudian berangkat. Setiap melangkah, kepalaku jadi nyut-nyut. Harusnya sih aku izin tidak berangkat sekolah. Tapi karena takut dikira frustasi memikirkan hasil olimpiade, aku memutuskan untuk tetap berangkat. Dasar aku, selalu saja mengkhawatirkan omongan orang.

Gerbang masih terbuka lebar. Para siswa-siswi masih lenggang. Pikirku mungkin akan sedikit terlambat, ternyata tidak. Begitu sampai kelas, Sarah dan yang lainnya langsung bertanya ini itu seputar olimpiade.

"Artinya lo sama kak June—"

"Iya, kami nggak jadi pacaran karena aku gagal dapetin mendali." Aku tak merasa bersalah memotong ucapan Kanya.

"Lagian target lu tinggi banget. Gue tahu lo pinter, tapi ngaca dikit Sab." Nasihat Anggita tepat mengenai hatiku.

"Plis guys... jangan bahas itu lagi. Kalian tahu nggak, sekarang ini aku dipenuhi rasa sesal karena belajar kurang maksimal dan milih target yang ketinggian."

"Unch... Bina." Pelukan Kanya memancing Sarah untuk ikut memelukku, sedangkan Anggita hanya mengelus kepalaku. Rasanya sedikit tenang diperlakukan begini. Mereka tidak menghibur dengan kata-kata manis, tidak juga memberi kata bijak. Walau begitu, ini semua sudah cukup. Kadang kala, saat segala sesuatu diluar prediksi dan membuat hidupmu kacau. Kau tak perlu kata-kata, kau hanya butuh sebuah tempat yang membuatmu nyaman.

Usai bel pertama berbunyi, kepala sekolah mengumumkan tentang keberhasilan Junedi yang menbondong mendali dan juga kepintaran anak-anaknya yang mampu menduduki peringkat tinggi dalam olimpiade kemarin. Bangga sih disebut, tapi tetap saja ada sesal.

"Sabina Selamat ya." Entah kenapa aku merasakan sedikit ketidak ikhlasan dari bu Lucinta Luna. Walau begitu aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kecil. "Sabina, hari ini kamu piket kan? Bisa tolong bawain buku dan absen ibu dikantor? Ibu lupa bawa."

Kalau guru sudah memerintah, kita mau apa lagi. Mau nolak takut nilai merah. Yasudah, langsung otw saja ke kantor guna menjalankan misi. Untung meja bu Lucinta Luna dekat dengan pintu jadi aku tak perlu melesak lebih jauh ke dalam kantor yang isinya para guru ini. Lelah, kalau terus tebar senyum seraya bersikap santun didepan mereka.

Sekarang tinggal kembali ke kelas, dan menyerahkan ini pada bu Lucinta Luna. Kemudian misi pun selesai. Inginnya sih begitu. Tapi disetiap misi pasti ada rintangannya. Begitu pula misi ku. Di jalan menuju kelas aku bertemu kakak kelas yang namanya seperti brand kue terkenal di Indonesia, ya siapa lagi kalau bukan Amanda. Dan tentu saja dia bersama antek-anteknya. Ya tuhan cobaan apalagi.

"Misi kak."

Tentu saja Amanda tidak membiarkanku lewat semudah itu. Dengan congkak, dia menghadang jalanku. Yaampun kenapa para antek-antek lucifer harus ada disini, bukannya sekarang waktunya KBM ya.

"Selamat ya." Senyumnya mengejek. "Selamat karena lo nggak dapet mendali dan nggak dapetin Junedi." Tawanya membahana. Herannya, ini sama sekali tidak lucu tapi kenapa antek-anteknya Amanda malah ikut tertawa. Humor mereka terlalu aneh.

"Makasih, misi kak." Sekali lagi aku berusaha melewatinya, namun lagi-lagi dia menghadang jalanku. Maunya apasih, tidak tahu apa kepalaku lagi nyut-nyutan begini.

"Songong ya lo!"

Yaampun, songong dari mana. Ucap permisi sudah, ngebalas ucapannya juga sudah. Jadi dimana letak kesongonganku. Tuhan, otak Amanda ini gimanasih, ada yang salah atau bagaimana. Karena tidak mau ribut aku harus tahan emosi. Lagipula, kalau ribut disini bukan keuntunganku. Aku hanya sendiri, sementara mereka ber empat. Bisa jadi perkedel aku. Disaat seperti inilah aku menyesal kenapa tidak pernah mempelajari ilmu beladiri.

𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜 ❝Chemistry❞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang