Chapter 16 - Emosi

14 5 0
                                    

         

"Ebi, Jangan lakukan hal bodoh ini lagi" ucap Momo sambil menangis

(Aku masih diam saat Momo memelukku)

"Yasudah, makan dulu ini. Kau pasti belum makan kan" ucap kak Yuki sambil menjulurkan tangannya yang membawa makanan dalam plastik.

Kemudian kak Yuki sadar kalau Mizu tidak ada dirumahku. "Kemana Mizu?" Tanya kak Yuki. Tetapi kak Yuki tidak terlalu memikirkannya. Karena kak Yuki merasa Mizu hanya sahabat yang memberitahu keadaanku saat ini, dan berpikir Momo adalah pacarku.

Setibanya disekolah.

Mizu duduk dibangku biasanya, duduk termenung dan terlihat kesal dengan kejadian semalam, aku ingin meminta maaf padanya karena aku hanya bisa diam ketika Momo mengaku jadi pacarku. Namun, Momo yang merasa menjadi pacarku, tiba-tiba memelukku dari belakang.

"Selamat pagi sayang!" ucap Momo dengan nada riang, serasa Momo kembali seperti dulu.

Teman-teman sekelas kaget dengan ucapan Momo, mereka berbisik-bisik membicarakanku. Mereka menganggapku cowok sampah yang hanya mempermainkan hati cewek disekolah saja. Aku tidak bisa berbuat banyak saat itu. Emosiku menjadi tidak stabil, aku merasa ingin marah, ingin jujur, ingin bebas dari mereka semua. Pelan-pelan nafasku sudah tidak teratur, aku menjerit sangat keras sampai-sampai Mizu yang mengabaikanku melihat kearahku.kemudian aku kembali pingsan saat itu juga dan langsung dibawa ke ruang UKS.

Saat aku mulai sadar, aku seperti kehilangan identitas diriku lagi. Tetapi, sekarang aku merasa lebih bebas dan tidak peduli dengan orang lain. Momo dan Mizu yang menungguku dirung UKS saat itu langsung mendekatiku.

"Ebi apa kau sudah baikan?" ucap Momo.

"Ebi apa yang terjadi tadi?" Ucap Mizu.

Kemudian aku tertawa kecil. "hahahaha, kalian bodoh? Aku sudah mempermainkan hati kalian, dan masih mencoba mendekatiku?" ucapku.

"apa maksudamu?" Tanya Mizu.

"Hei Mizu, dengarkan baik-baik. Aku bersedia menjadi pacarmu karena aku hanya tidak ingin melihat orang menangis karena diriku. Aku tidak punya rasa apa-apa terhadapmu. Bahkan lebih baik kau benar-benar menjauhi ku." Ucapku dengan nada santai.

"Maksudmu...." Ucap Mizu. Tetapi aku langsung memotong perkataannya.

"Dan kau Momo, Semenjak aku kehilangan ingatanku. Aku sangat tidak menyukaimu, dirimu yang seenaknya mengaku pacarku. Aku tahu kalau kau mencoba menjadi pacarku agar tidak menyakiti Mizu kan? Dasar cewek brengsek!!! Kelakuanmu sudah tidak akan aku maafkan lagi" ucapku pada Momo.

Mereka berdua terdiam.

"Lebih baik kalian pergi dari sini, jangan pernah menggangguku lagi, jangan pedulikan aku lagi!" ucapku keras.

Mereka berdua menangis, mereka sadar apa yang mereka lakukan salah. Mereka meminta maaf padaku dan kemudian pergi meninggalkan ruang UKS. Anehnya aku tidak merasa sedih dan bersalah ketika memarahi mereka, justru aku merasa tenang dan bahagia.

Aku segera mengambil tas dikelasku, dan kemudian pulang kerumah. Saat jalan keluar sekolah, aku bertemu kak Hori seperti sedang menungguku. Namun aku melewatinya tanpa berkata apa-apa. Dia memanggilku berulang-ulang kali, namun aku merasa terganggu dengan adanya dia.

"Diam!!! Hey Hori. Lebih baik kau belajar, dan lulus. Aku sudah tidak peduli dengan mereka semua" ucapku dengan kasar.

Kak Hori terdiam, seakan-akan tidak menyangka dengan apa yang barusan aku katakan. Aku lanjut pergi berjalan.

Keesokan Paginya,

Teman-teman sekelasku mengejekku saat aku datang ke kelas.

"Dasar sampah"

"Jangan kau permainkan hati wanita, jika kau tidak ingin menyesal"

"Mati saja kau!"

"Kau hanya pura-pura lupa ingatan kan"

Kata-kata itu menghantui pikiranku. Aku hanya bisa duduk dan menutup telingaku sambil mendengarkan lagu dengan headphone milikku. Sampai pada akhirnya tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku sampai jatuh kelantai.

"Sampah itu harusnya ada dilantai" ucap orang yang mendorongku itu.

"Hahahahahahahaaaaa..... sampah" Semua teman-teman menertawakanku, sedangkan Mizu dan Momo terlihat ingin menolongku namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku yang tidak bisa diperlakukan seperti ini, bangkit berdiri sambil melepas headphoneku dan melemparnya kearah papan tulis didepan kelas. Kemudian aku melempar kursiku dan mendekati orang yang mendorongku. Dalam sekejap suasana kelas langsung berubah. Semua hanya terdiam.

"Hei kau! Berani-beraninya mendorongku. Kau ingin mati?" Ucapku.

"Sampah hanya bisa mengancam" ucap orang tersebut.

Tanpa banyak bicara, aku langsung memegang lehernya dengan keras.

"Jangan ada yang melapor. Jika tidak, kalian semua yang ada dikelas ini. Akan merasakan hal yang sama. Aku bukan sekedar mengancam." Kemudian aku mengambil pulpen di saku dan menancapkannya ketangan kiriku. Dan yang keluar sangat banyak, sampai-sampai mebuat baju orang yang mendorongku penuh dengan darah.

"Kalian bisa lihat ini! Aku tidak akan segan membunuh orang."


BERSAMBUNG.

Identitas Musim PanasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang