1. Bukan peluit akhir

2.5K 175 16
                                    

Terik matahari ini tak menyurutkan air mataku, tangisku semakin pecah bersamaan dengan tertutupnya tempat peristirahatan terakhir wanita yang ku cinta. Aku terduduk lemas di samping Makam Ibu, "Ibu jangan tinggalin Bia..."kataku sambil memeluk nisan kayu yang baru di tancapkan pada tanah.

"Ibu kalau ibu pergi Bia sama siapa?" air mataku terus saja mengalir tanpa henti. Bayangan kenangan bersama ibu terekam jelas, bagaimana setiap pagi aku selalu di suapi sarapan olehnya, di siapkan bekal untuk di sekolah, hingga tidur berdua dengan Ibu. Bagaimana selanjutnya aku akan hidup jika tak ada Ibu di sampingku?

Sahabat lelakiku, ia adalah satu-satunya teman yang ku punya saat ini, ia berdiri di sampingku dan kemudian ikut berjongkok di dekatku. Pria yang memakai kaca mata hitam dengan baju koko putih itu mengelus bahuku, "Bia, ada aku. Ibumu sudah tenang di sana, dia udah enggak merasa sakit lagi."ucapnya.

Memang benar ucapan sahabatku, Witan. Ibu meninggal setelah berjuang melawan sakit yang ia alami, entah sejak kapan Ibu merasakan sakit itu, Ibu selalu menyembunyikan penyakitnya dari orang sekitar, Ibu tak pernah terlihat sakit, namun saat Ibu memang sudah tak kuat lagi dan saat di tanggani dokter katanya sudah tak bisa tertolong. Aku sebagai anaknya merasa gagal menjadi anak ketika aku tidak mengetahui bahwa Ibu berjuang melawan sakitnya sendiri. Dan setelah Ibu menghebuskan nafas terakhirnya dokter baru memberi tahu bahwa sebenarnya lambung Ibu sudah begitu rusak atau kata lain Ibu mengalami maag yang sangat kronis, jadi lambungnya tak bisa lagi berfungsi dan karena itulah Ibu meninggalkan aku.

Bahuku terus bergetar akibat tangisan, "Witan, Bia mau ikut aja sama Ibu..."ucapku pada sahabat yang berada di sampingku.

Kali ini seorang Wanita paruh baya mendekat kepadaku, ia tak lain adalah Tante Windy, Ibu dari Witan. "Abia enggak boleh gitu, Kalau Abia nangis nanti di sana Ibunya Abia nangis juga. Lebih baik pulang yu...Abia juga butuh istirahat"ajak Tante Windy.

"Bia mau disini sama Ibu, Tante."kataku pelan sambil terus memeluk nisan kayu yang bertulis nama Ibuku.

Pria dewasa yang sejak tadi hanya menatapku kosong kini menghampiriku, matanya yang biasa berbinar-binar kini telah redup. Rambutnya yang biasa di tata rapi berjambul kini tertutup peci hitam, baju kemeja hitamnya sudah kusut dan kotor oleh tanah kuburan sama seperti keadaan dress panjang hitamku yang sudah bercampur warna cokelat kemerah-merahan akibat tanah pemakaman. Pria itu mengangkatku, membuatku berdiri di sampingnya. Ku peluk lengannya yang sedikit berotot itu, ku sandarkan kepalaku yang sudah terasa berat ini pada lengannya,"A Bow...Ibu..."kataku sambil menangis pada kakakku itu.

Pria tadi yang tak lain adalah kakakku hanya mengangguk dan memejamkan matannya, aku tau walau ia tak menangis sepertiku sebenarnya ia lebih sedih kehilangan Ibu, karena di hari sebelum Ibu meninggal ia telah menggapai cita-cita yang selama ini ia cita-citakan. Namun sampai ibu menghembuskan nafas terakhirnya Ibu belum mengetahui pencapaian Kakakku itu. Sebab ketika di detik-detik ia menandatagani surat kontrak dengan salah satu klub besar di negeri ini bersamaan juga dengan ibu menghembuskan nafas terakhirnya, perjuangan ia nanti tak mampu di saksikan oleh wanita cinta pertamanya.

Orang-orang yang mengantar Jenazah Ibu sudah terlebih dahulu pulang selesai prosesi pemakamannya, kini hanya menyisakan aku, Kakakku juga keluarga Witan. "Yu..."ajak Kakakku sambil mengalungkan tangannya di belakang punggungku.

Aku menjauh darinya, menggeleng pelan dan kembali terduduk lemas di depan peristirahatan terakhir Ibu, "Ibu...Bia ikut Ibu aja ya...Nanti kalau Bia ikut A Bow, A Bownya jailin Bia siapa yang marahin? Bia mau sama Ibu aja."tangisku makin pecah, tubuhku makin lemas hingga aku hanya bisa berbaring di tanah sambil memandangi nisan Ibu.

"Bia enggak boleh gitu!"ujar sahabatku sedikit keras.

Setelah itu aku tak tau lagi apa yang terjadi, karena ketika ku bangun aku sudah berada di kamar. Ku kira tadi hanya mimpi ternyata itu adalah nyata. Aku melihat diriku sendiri di cermin, diriku hancur bersamaan perginya wanita yang selalu memerhatikan diriku. Rambut yang di ikat satu kuncir kuda dengan poni terlihat acak-acakan. Mataku menjadi sembap akibat banyak menangis. Hidung mungilku memerah dan cairan bening dari kedua bola mataku tak berhenti mengalir. Diri ini hancur ketika menyadari bahwa satu-satunya orang tua yang ku punya harus meninggalkanku.

Tatapanku beralih pada foto di nakas, fotoku yang sedang memeluk seorang malaikat yang telah selesai menjalankan tugasnya menjagaku, dia ibuku. Dengan mata yang tak terlalu bulat belo sepertiku, bibir tipis yang menampakan senyumya, kulit sawo matang nan manis itu hanya menemaniku sampai usia enam belas tahun, aku tak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku kedepan tanpa sosok dirinya.

Seseorang yang sering di sebut foto copyan Ibu tiba-tiba datang masuk ke kamarku, dia mendekapku, dekapan hangat yang menenangkan. Dia adalah Kakakku, dengan penampilan yang tak kalah acak-acakan dariku. "Kamu hancur, Aa lebih hancur. Berhenti nangis, kita mulai lagi hidup kita."ucap Kakakku.

Memang benar, dengan meninggalnya Ibu, aku dan Kakaku sangat terpukul karena Ibu adalah satu-satunya orang tua yang kami punya.

Pria yang tubuhnya atletis itu menitikan air matanya, "Kita memang kehilangan satu nyawa di hidup kita tapi kita masih harus terus hidup agar ibu di sana tetap tersenyum."

Aku tak kuasa lagi melihat kakakku yang biasanya tak pernah menitikan air mata sekarang air matanya jatuh, aku menyeka air matanya. Tak pernah aku seakur ini dengan Kakakku, biasanya kami menghabiskan hari dengan pertengkaran-pertengkaran yang tak perlu, namun kini kita mau tak mau saling menguatkan satu sama lain.

"A Bow jangan nangis, A Bow harus kuat. Enggak ada ya pemain bola nangis-nangis. Enggak ada ya Monster nangis. Kalau A Bow aja lemah kaya gini siapa yang nguatin Bia!"kataku sambil mendorongnya menjauh.

Dia sedikit mengangkat sudut bibirnya membuat sedikit senyum di wajahnya walau ku tau itu berat. "Jangan bilang lagi kamu mau nyusul Ibu, kalau kamu pergi juga Monster sama siapa di sini? Monster juga butuh lawan dalam pertengkaran."ujarnya bercanda sambil mencubit pipiku.

Aku kembali memeluknya menangis lagi di pelukannya mengeluarkan apa yang ingin aku keluarkan, karena saat ini hanya pelukannya yang bisa jadi penenang. Kadang ku iri dengan dirinya yang bisa lebih lama merasakan kasih sayang seorang Ibu, di tambah anugerah wajah yang hampir mirip dengan Ibu, dari matanya, bibirnya hingga warna kulit yang sama.

"Kamu tau? Apa yang paling Aa sesali setelah kematian Ibu?"

Aku menatapnya masih dalam pelukan, lalu aku menggeleng pelan.

Dia menghapus air mataku lagi, "Aa terlambat mengapai cita-cita Aa. Cita-cita Aa buat jadi pemain sepak bola profesional udah terwujud, tapi saat bersamaan ibu pergi. Kalau Aa lebih cepat menggapai cita-cita Aa, mungkin Ibu udah bisa merasakan hasil perjuangan Aa."

Aku memanyunkan bibirku, "Ibu tetap bisa merasakan itu dari surga. Ibu pasti menyaksikan A Bow bersama dengan Allah. Jadi A Bow harus terus semangat. Buktiin sama semua orang kalau A Bow itu punggawa terbaik yang Indonesia punya."

Kakakku mengangguk, Ia mengecup pucuk kepalaku. "Terus jadi semangat Aa ya, jantung hati Aa."katanya terdengar pelan.

Dia menatap mata sembabku lekat lekat, dua manik mata berwarna cokelat tua milik kakakku itu memandang mataku, "Ini bukan peluit akhir, tapi ini awal pertandingan kehidupan yang baru. Terus dampingi Aa supaya Aa bisa selalu bahagiain kamu."ucap Kakakku.

Aku sudah tak bisa berkata-kata lagi, dengan melihat sikap kakakku yang sudah berubah aku melihat kehidupanku lagi di pundaknya, dulunya ia adalah kakak termenyebalkan yang bersikap seperti monster namun kini setelah ku dengar ucapannya tadi aku yakin selanjutnya dia adalah malaikat yang akan melanjutkan tugas Ibu untuk selalu ada di sampingku, yang selalu siap memberiku dekapan hangat untuk menenangkan setiap kericuhan di dunia.

➖➖➖
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mampir dan membaca.

Terus ikuti kelanjutannya,
Jangan lupa Vote, Komen, Share✈️

Kritik dan saran sangat berarti.
INSTAGRAM : NBLAABIL13

Dekap sang PunggawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang