18. Mie ayam

716 83 2
                                    

Siang ini aku tengah berada di kantin sekolah yang penuh hiruk pikuk para siswa yang tengah mengisi perut mereka. Aku sudah tak sendiri lagi Witan sudah kembali sekolah setelah seminggu kemarin ia ikut Training Camp bersama Tim nasional U-18.

"Teh, Mie ayam dua."pesan Witan kepada pedagang Mie ayam di kantin.

Aku dan Witanpun duduk di meja kantin yang berada di tengah-tengah para penjual yang kiosnya ada di sekeliling isi kantin ini, ada sekitar tujuh kios jajanan dari penjual yang berbeda, namun aku dan Witan biasanya hanya jajan Roti bakar di kios sebelah kiri dan Mie ayam yang terletak di kios tengah.

"Asik di traktir Witan."sahutku.

Witan memanyunkan bibirnya, "Ini menepati janji,"

"Nah gitu dong, kalau jadi cowok harus nepatin janji bukan ingkar janji!"

"Hm..."

"Gimana kemarin bareng Timnas?"tanyakku,

"Berat Bia, lebih berat dari rindu. Pagi latihan fisik sorenya strategi, mantap deh asupan latihannya. Mana enggak boleh makan sembarangan. Tapi asik sih, kenal teman baru dari berbagai belahan Indonesia."

Aku hanya tersenyum, jika saja ku ambil kesempatan menjadi punggawa garuda pertiwi mungkin akan merasakan kebahagiaan yang Witan rasakan juga.

"Lomba cerdas cermatmu bagaimana? Kata Ayah kakakmu enggak datang?"tanya Witan yang duduk di hadapanku.

"Ya gitu, kalah dengan poin tipis. Iya katanya ada acara sponsor."jawabku malas.

"Tapi lebih sakit kalah kebobolan di menit akhir tau, Udah berjuang mati-matian eh kemasukan, kan sad."

"Kaya kisah cinta, udah nyatain sayang eh di tinggalin. Hahaha..."candaku dengan tawa.

Witan ikut tertawa, "Hahaha, kaya kamu sama si Rendy. Parah..."

Aku dengan spontan mengacak-acak jambulnya. "Enak aja! Enggak gitu juga ya!"

Saat aku dan Witan tengah dalam candaan, penjual Mie ayam datang dengan membawa dua mangkuk Mie ayam yang tadi Witan pesan.

"Makasih ya Teh. Ini uangnya sekalian deh."kata Witan sambil memberi uang senilai dua porsi Mie ayam.

Penjual Mie Ayam itu memasukan uang yang Witan beri ke saku celemeknya, "Pas ya."sahutnya pada Witan.

Witan hanya menganngguk,

"Neng Abia, salamin ya sama si Aa. Bilangin mainnya jangan melehoy harus gacor."

Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

Teteh penjual Mie ayampun meninggalkan kami berdua.

Akupun mengaduk Mie ayamku, sama dengan Witan. "Terus kamu marah enggak sama Kakakmu?"tanya Witan sebelum melahap Mie ayam.

"Sempet marah, cuman enggak lama."

Witan menatapku dengan mulut penuh berisi Mie, seolah bertanya lagi.

"Ya gimana bisa marah lama-lama kalau dia minta maaf bawa sogokan nasi padang."

Witan terlihat tersedak, ia buru-buru mengambil segelas air minum yang di sediakan.

"Nasi padang doang luluh?"tanya Witan seolah tak percaya.

Aku mengangguk, "Ya habisnya, A Bow datang bawa nasi padang pas Bia lapar, udah gitu di suapin lagi. Kan Witan tau Bia enggak bisa lama-lama marahan sama A Bow. Sekalinya lama Bia sakit,"

"Hmm...tuhkan bener, yang sakit kemarin karena kamu marahan sama Kakakmu, dasar."

Aku hanya tercengir dan kembali melahap Mie ayam.

Dekap sang PunggawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang