Aku berlari di sebuah labirin yang gelap, namun aku terhenti ketika melihat seorang yang ku cinta dengan pakaian seragam Tim sepak bola yang ia bela tengah terbaring sambil memegangi kakinya, saat ku dekati dia, ada seseorang yang menarikku seperti aku akan dipisahkan dengan Kakakku, aku menghindar namun tak bisa, semakin aku menghindar semakin Kakakku terlihat kesakitan. Aku semakin menjauh dari Kakakku yang sedang kesakitan itu, ku melihat Kakakku dengan tangis. Makin jauh ku pandang Kakakku hingga sesuatu hitam menyerangku.
"Aaaaaa!"teriakku sambil terduduk, ternyata semua itu mimpi. Aku memeluk lutut kakiku sambil menyandarkan punggungku pada tembok, bibirku terus bergetar ketika menginggat kembali mimpi tadi.
Seorang pria dengan piayama tidurnya membuka pintu kamar, ia adalah Om Alisson. "Kenapa?"tanyanya sambil mendekat dan duduk di sampingku.
Ia mengelus kepalaku lembut tanpa sadar ku sandarkan kepalaku di dadanya. Dia memelukku memberiku ketenangan. Nafasku mulai beraturan, peluk pria paruh baya ini menentramkan? Apakah seperti ini rasanya di peluk seorang ayah? Sangatlah beruntung anak Om Alisson bisa selalu merasakan pelukan hangat dan cinta kasih dari seorang Ayah seperti Om Alisson. Jika aku di beri satu permintaan oleh tuhan, aku akan meminta sekali saja merasakan pelukan hangat seorang ayah yang tak pernah ku rasakan dari sosok Papahku.
"Kamu baik-baik aja? Om tadi dengar kamu teriak ketakutan. Kamu mimpi buruk?"
Tak lama datanglah Witan dengan muka yang masih mengantuk, juga Tante Windy dan Om Wisnu yang menatapku khawatir. Aku yang menyadari keadaanku tengah di peluk Om Alisson langsung berlari kepada Tante Windy. Aku menatap Om Alisson yang hanya memberiku senyum kenapa aku seceroboh itu membiarkan lelaki yang baru ku kenal memelukku.
"Gadis manis kenapa?"tanya Om Wisnu sambil mengelus kepalaku yang berada di pelukan Tante Windy.
Aku menangis di pelukan Tante Windy, "Bia mimpi A Bow, Bia enggak mau kehilangan A Bow. Bia takut A Bow pergi. Bia takut A Bow kenapa-kenapa,"jelasku.
Om Wisnu membawaku duduk di tepi ranjang. Tante Windy mengikuti dan duduk di sampingku.
Tante Windy membelai rambutku yang terurai,"Tadi malam Abiakan udah ketemu sama Aanya. Abia lihat kondisi Aanya Abia baik-baik ajakan? Jangan khawatir Febri pasti bakalan selalu ada buat Abia. Febri juga enggak mungkin tinggalin Abia kok.""Lagian itu cuman mimpi Bia, itu cuman bunga tidur."kata Witan sambil dia mengucek matanya yang masih mengantuk.
"Okey, begini saja. Sekarang kamu lanjutkan tidurmu ini juga masih malam. Besok pagi sebelum kita kembali ke Bandung, kita temui dulu Febri."ucap Om Wisnu.
"Makasih ya Om Wisnu."
Om Wisnu mengembangkan senyumnya. "Sekarang lanjutkan tidurmu,"
Akupun mengangguk. Tak lama setelah semua orang kembali ke kamar masing-masing aku mencoba terlelap lagi, meskipun rasa takut masih ada di diriku.
Di pagi hari yang cerah Aku, keluarga Witan dan Om Alisson tengah berkumpul di ruang makan, menyantap sarapan yang Tante Windy dan aku buat.
"Wih enak-enak nih makanan."puji Om Alisson sambil mengambil sarapannya.
Tante Windy yang juga tengah mengambilkan sarapan untuk Om Wisnu tersenyum, "Iyakan yang masak chef Abia."katanya.
Aku yang tengah menyiapkan piringku menautkan dua alisku, "Bia cuman bantu, Tante Windy yang masak."
"kebalik kali..."sahut Tante Windy.
"Udah-udah, Mah, Witan lapar. Tolong dong, Maaf."ujar Witan sambil memberikan piring kosong kepada Tante Windy.
"Dasar anak bujang."timpal Tante Windy.
Kamipun menyantap sarapan, di tengah suasana sarapan tak lupa di isi perbincangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekap sang Punggawa
Fiksi Penggemar#ProjectHalu #BowXBia Tak ada bahu kuat baginya selain bahu sang Kakak, tak ada kaki yang siap melangkah cepat menolongnya selain kaki sang Kakak, juga tak ada dekap paling hangat yang menguatkan selain dekap sang Kakak. Sang Kakak lah semangatnya...