12. Tangis yang tragis

759 78 8
                                    

Lembar ke lembar aku membaca setiap kata di sana. Suasana bising di dalam kelas sedikit mengganggu tapi aku tak mau jadi bagian bising dari mereka, aku lebih memilih membaca buku materi. Sedangkan teman sebangkuku Witan dia adalah pemimpin dari kebisingan ini. Dia tengah berlari melempar pesawat kertas yang ia buat, terlihat seperti anak kecil namun itu mampu membuat seisi kelas bergelak tawa.

Tiba-tiba di tengah kebisingan kelas suara pintu kelas yang terbuka secara perlahan mampu membuat semua isinya berdiam di tempat. Semua mata tertuju pada pintu kelas. Ku kira guru yang masuk ternyata hanya adik kelas.

Witan menghampiri adik kelas itu di pintu "Kenapa?" tanya Witan dengan muka songong.

Adik kelas lelaki itupun nampak ketakutan. "Punten A, Teh Abia kelasna di sini?"ketika namaku di sebut aku langsung berdiri dan menghampiri.

"Iya, ada urusan apa kamu sama dia? Suka?"

"Eh...henteu A, itu Teh Abia di panggil ke ruang guru."

"Ada apa?"tanyaku.

"Enggak tau Teh, di suruh ke sana aja."jawab adik kelas tersebut.

Aku mengangguk, "Oh gitu, yaudah terima kasih."

"sama-sama Teh."katanya sambil berlalu.

Witan menatapku, "Perlu di kawal?"tanya Witan sambil menaik-naikan alisnya.

Aku hanya menggeleng dan tersenyum sambil berlalu keluar dari kelas. Sesampainya di ruang guru aku melihat bukan hanya aku yang di panggil, tapi juga ada dua anak lain dari kelas berbeda yang juga ada di situ.

"Abia sini duduk."titah Bu guru.

Aku mengiyakan dan langsung duduk di samping siswa lain.

"Iya kenapa Bu?" tanyaku dengan jantung yang berdetak kencang karena ketakutan.

Bu guru hanya tersenyum, "Jadi gini Abia, kamu dan teman-teman di sini sudah ibu daftarkan untuk ikut lomba olimpiade cerdas cermat minggu depan, dan di mulai hari ini selesai jam sekolah kalian latihan bersama Ibu,"

Aku dan Siswa lain hanya mengangguk, bayanganku terbayang pada jadwal Training Campku bersama Tim nasional sepak bola putri Indonesia yang juga jatuh di minggu depan. Ini pilihan sulit, Tak kala harus memilih panggilan negara yang tak di setujui Kakakku, atau menjadi perwakilan sekolah. Hidup selalu saja memiliki pilihan-pilihan yang sulit, namun dengan itu pula hidup memberi banyak pelajaran untuk kedepannya.

Akupun kembali berjalan menelusuri lorong menuju kelas, aku masih menimbang pilihan mana yang harus ku pilih, jika aku tetap memilih garuda pertiwi aku memang bisa membuat bangga negara namun tidak dengan kakakku, jika aku memilih olimpiade aku hanya bisa membuat bangga satu sekolah tapi Kakakku juga pasti mendukung. Ah sulit!

Sekelompok Siswa berdiam di depan lorong yang akan aku lewati, nampaknya mereka melihat kehadiran diriku, mereka seolah menertawakanku tanpa sebab, salah satu siswa lelaki itu berteriak "Kakak maneh enggak pantes jadi pemain bola! Bisanya buat rugi Tim kebanggaan aing aja!"

"Nya bener, Modal lari doang so soan jadi pemain bola! Jadi Atlet lari sana!"timpal siswa yang lain.

Aku hanya bisa mengepalkan tanganku di samping, resiko yang harus ku dapati sebagai adik pesepak bola ya begini, ikut kena imbas mendengar ejekan kepada Kakakku di kala Tim kakakku kalah, namun tak ikut di puji ketika mereka menang. Aku mencoba menahan emosiku agar tak meluap, walau masih banyak siswa masih berteriak mengejek Kakakku di belakang sana.

Aku memasuki kelas dengan keadaan kesal, sesampainya di bangkuku aku langsung membaringkan kepalaku di atas meja dengan di bantali kedua tanganku.

"Hey kenapa?"tanya Witan yang aku punggungi,

Dekap sang PunggawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang