13. Batagor

748 80 13
                                    

Siang ini aku tengah berjalan menyusuri sekolah yang ramai bersama Witan, setelah tadi mencoba ke kantin kami memutuskan lagi untuk kembali ke kelas di karenakan kantin sangat penuh membuat kami susah untuk memesan makanan.

"Tan mau cari makan di luar aja?"tanyaku.

Witan hanya mengangguk, entahlah hari ini dia sangat irit bicara tak tau karena apa mungkin karena sariawan atau memang sedang lapar.

Aku tak begitu ambil pusing dengan perilaku Witan, kami berjalan keluar gerbang sekolah, Pak Satpam sempat mencegah kami. "Ettt...Mau kemana ini?"

"Jajan batagor di luar,"kataku.

"Kan ada kantin, enggak boleh jajan keluar."

"Kantin penuh Pak, lagian kami anak baik-baik enggak mungkin kabur. Tuh tukang batagornya aja kelihatan dari sini, kita beli di bungkus kok. Nanti makan di kelas, Please Pak lapar nih..."jelas Witan.

Pak Satpam itu menghela nafasnya, "Yaudah, enggak lebih dari sepuluh menit."

Aku dan Witan mengangguk. Selain di kantin, di sekitar sekolahku juga banyak penjual jajanan, hanya saja sulit untuk meminta izin keluar sekolah. Kebetulan tukang batagor itu berjualan di sebrang sekolah jadi aku dan Witan memilih membeli batagor di luar sekolah ketimbang berdesak desakan di kantin.

Sebelum menyebrang aku dan Witan menengok kiri dan kanan terlebih dahulu memastikan lalu-lalang kendaraan di sekitar, saat akan menyebrang Witan menggenggam tanganku membuatku menatapnya dengan senyum. Witan selalu begitu, Witan layaknya penjagaku, dia orang yang siap siaga melindungiku selain Kakakku.

Setelah sampai di sebrang Witan segera melepaskan tangannya. Dia berjalan mendahuluiku, aku hanya mengikutinya di belakang.

"Mang, Dua porsi. Bungkus ya, yang satu pangsit aja, yang satu campur bumbunya pisah."ujar Witan memesan batagor.

Aku mengeluarkan uangku dan memberikannya pada Witan. Witan sudah paling hafal apa kesukaanku, apa kebiasaanku ketika membeli batagor, yaitu bumbunya di pisah, sedangkan Witan sendiri lebih suka hanya memesan batagor pangsit saja.

"Tumben A, Neng, kenging kaluar jam istirahat."

"Nya Mang, kantin pinuh duh jiga di pasar."timpalku.

"Hahaha, Neng kamari uih meni sonten pisan."

"Oh, enya Mang, biasa pelajaran tambahan."

Witan yang biasanya menimbrung asal kini lebih terlihat diam, aku benar-benar tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada Witan. Tapi aku paling tak suka Witan yang pendiam, aku lebih suka Witan yang banyak omong meski kadang telingaku sakit mendengar setiap ocehannya.

Penjual batagor itupun menyelesaikan pesanan kami, batagor yang kami pesan di bungkus dengan wadah seperti toples yang terbuat dari kertas yang tebal dan anti air, kemudian kembali di bungkus lagi plastik sedang.

Witan memberikan uangnya bersamaan dengan menerima pesanan batagor kami. "Nuhun mang,"

"Sami-sami."ujar penjual batagor dengan senyum.

Witan membawa pesananku dan dia di tangan kanannya sementara tangan kirinya menggenggam tanganku dan kamipun kembali menyebrang masuk ke lingkungan sekolah.

"Kemarin pulang sore sama siapa?"tanya Witan saat kami sudah berada di dalam sekolah.

Aku menatap Witan yang tadi bertanya dengan nada datar. "Sendiri," jawabku singkat.

Kami kembali berjalan menyusuri setiap lorong menuju kelas kami tanpa obrolan. Aku tak biasa dengan suasana ini bersama Witan. Kini aku menatap Witan yang hanya memandang sekitar tanpa memandangku, "Witan kenapa? Sakit?"

Dekap sang PunggawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang