Di pagi hari yang belum sama sekali menampakan sinar mentarinya, kini aku dan keluarga Witan tengah berada di dalam perjalanan panjang menuju Jakarta. Kita memilih pergi di waktu yang sangat pagi agar bisa menghindari macetnya jalanan.
Di sepanjang perjalan aku masih terus berfikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di hidupku, entah benar atau tidak jalan ini aku ambil.
Mentari mulai memunculkan sinarnya, perjalanan kamipun sudah semakin dekat. Menurut Tante Windy kita semua akan menginap di rumah teman lama Om Wisnu.
"Bia, ingat tidak saat kecil kamu selalu menangis kalau di ajak ayahku jalan-jalan, kamu selalu memegang erat tanganku seperti takut kehilanganku."ucap Witan yang duduk di bangku belakang bersamaku.
Aku alihkan pandanganku yang semula ke arah jendela kini ke arah Witan yang tengah menatap lurus keluar. "Itukan gara-gara Witan yang suka menakuti Bia kalau Bia mau di culik Om Wisnu dan di tinggal di jalan!"
Om Wisnu yang tengah menyetir memerhatikan kami lewat kaca kecil, "Dasar ya! Saat kecil saja sudah jahil. Pantas saja pada saat Abia kecil kalau ketemu ayah selalu nangis. Ternyata ini gara-gara kamu ya Witan?"
"Jahilnya Witankan udah sampai DNA sama kaya ayahnya."sahut Tante Windy membuatku tertawa.
Tak lama kemudian mobil Om Wisnu masuk ke perkarangan rumah yang cukup besar, setelah mobil terparkir di halaman yang cukup di masuki tiga mobil ini aku dan keluarga Witanpun keluar, kami sudah di sambut pria paruh baya sedikit lebih tua dari Om Wisnu dengan brewok tipis dan rambut berjambul membuat pria paruh baya itu masih terlihat muda dan gagah.
"Ali...Apa kabar?"tanya Om Wisnu sambil memeluk sekilas sahabatnya itu.
"Baik..."
Tante Windypun menyalami sahabat suaminya itu, aku dan Witan yang berdiri di belakang hanya bisa melihat pertemuan ini dengan memasang senyum. Sahabat Om Wisnu itu tersenyum, entah kenapa aku melihat Pria paruh baya itu seperti tak asing namun aku juga tak mengenal ia siapa.
"Witan, Abia sini."panggil Tante Windy.
Aku dan Witanpun mendekat, kami berdua berdiri di tengah-tengah kedua orang tua Witan, sedangkan Sahabat Om Wisnu berdiri dihadapan kami. "Ini namanya Om Alisson, sahabat Ayah. Mungkin kamu lupa dan baru ketemu lagi soalnya Om Alisson dulunya tinggal di Inggris."jelas Om Wisnu yang berdiri di samping Witan.
Witan menyalami Om Alisson itu, "Sudah besar ya."kata Om Alisson sambil memeluk Witan sekejap.
"Abia, ayo salam sama Om Ali,"titah Tante Windy.
Akupun menuruti perintah Tante Windy, setelah menyalami Om Alisson tiba-tiba ia memelukku, aku yang terkejut menghindar dengan cukup keras. Aku menyembunyikan diriku di belakang punggung Tante Windy, "Tante..."kataku pelan.
Om Alisson mendekat, "Maaf kalau bikin kamu takut, tadi-"
"Tante..."sahutku sambil bibir bergetar.
"Enggak apa-apa, Om ini baik kok. Mungkin di Inggris memang begitu budayanya."ujar Tante Windy menenangkanku.
"Yaudah mari masuk,"ajak Om Alisson pada kami.
Kamipun masuk kedalam rumahnya, rumah dengan ornamen modern ini terlihat sepi.
"Om di sini sama anak dan istri Om?"tanya Witan.Om Alisson terdiam sejenak, "Oh enggak, Om sendiri."jawab Om Alisson dengan senyum.
"Asik ya, rumahnya keren tapi sayang Om kalau cuman sendiri. Anak Istri Om masa iya enggak mau tinggal di sini."
"Witan...jaga bicaramu."sahut Om Wisnu sambil menatap tajam anaknya.
Om Alisson hanya tersenyum. Kami semuapun duduk di sofa yang berada di ruang tamu rumah Om Alisson.
"Sejak kapan balik ke Indo lagi Li? Bukannya dulu balik lagi ke Inggris ya?"tanya Om Wisnu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekap sang Punggawa
Fanfiction#ProjectHalu #BowXBia Tak ada bahu kuat baginya selain bahu sang Kakak, tak ada kaki yang siap melangkah cepat menolongnya selain kaki sang Kakak, juga tak ada dekap paling hangat yang menguatkan selain dekap sang Kakak. Sang Kakak lah semangatnya...