25. Cerita masa lalu

788 82 18
                                    

Kini, pagi dimana nanti malam adalah pertandingan perdana Kakakku membela garuda di ajang resmi, menggunakan seragam yang terdapat lambang garudanya di dada, namanya memang akan tertulis di belakang namun tak penting siapa yang ada di belakang yang penting adalah lambang yang ada di depan.

Aku masih belum bisa menurunkan egoku, masih sulit bagiku untuk melupakan setiap kesalahannya. Aku hanya terduduk di sofa yang berada di sudut ruang kamarku, sambil terus menatap layar ponsel, sambil terus berbalik membuka menu telepon, menekan kontak kakakku walau tak berani untuk meneleponnya.

Pintu kamarku terbuka, pria paruh baya yang masih terlihat gagah dengan brewok tipisnya itu tersenyum menatapku, "Kenapa?"tanyanya di ambang pintu.

Aku tersenyum, "Enggak Pah,"

"Mau ikut Papah?"tanyanya lagi.

Aku berdiri, "Ke mana?"aku malah balik bertanya.

"Ikut aja yu, Kamu siap-siap aja dulu. Papah tunggu di bawah ya."

Aku hanya bisa mengangguk meng-iyakan. Aku bersiap dengan cepat sesuai yang ku bisa, dengan celana model palazzo berbahan linen, Kaos santai berbahan katun berwarna putih, dan jaket bomber berwarna maroon. Aku mengikat rambutku seperti biasa dengan kuncir kuda dan poni menutupi dahi. Aku memakai sedikit lip tint di bibir agar nampak fresh.

Setelah siap dengan semuanya, aku mengambil tas waist bag berwarna hitam yang tergantung di balik pintu, aku keluar dari kamarku dan mencoba mencari keberadaan Papah.

"PAPAH AYO...BIA UDAH SIAP."teriakku sambil menuruni tangga.

Aku berjalan hingga ke ruang tamu dan mendapati Papah yang sedang memakai jam tangan. Dengan celana berwarna hitam, jaket jeans yang terkancing rapih Papah bisa di sebut Hot dady di kalangan pria seusia Papah apa lagi dengan model rambut yang sedikit berjambul walau usia tak bisa di bohongi, di rambutnya kini sudah terlihat ada uban.

"Cantik banget anak Papah,"

Aku hanya tersenyum. Papah merangkulku, kamipun berjalan keluar rumah berbarengan. Sambil menunggu Papah yang masih mengunci pintu rumah, aku yang sudah duduk di bangku mobil samping pengemudi hanya bisa memainkan ponselku, lagi lagi aku hanya menatap kontak A Bow yang ku namai 'Monster Cadel' aku masih ragu untuk meneleponnya aku masih ragu untuk memaafkannya.

Papah membuka pintu pengemudi, membuatku tersentak.

"Kenapa De?"tanya Papah.

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Setelah memasang sabuk pengamannya Papah mengemudikan mobilnya hingga meninggalkan perkarangan rumahnya.

Mobil melaju, menyusuri setiap jalan yang Papah kehendaki. Aku hanya terdiam sambil menatap keluar melalui jendela. Banyak orang yang ku lihat sedang melakukan aktivitasnya masing-masing di jalan. Lagi lagi aku kembali menatap ponselku yang masih menampakan kontak kakakku.

"Dek..."Papah mengeluaku.

Aku mencoba tersenyum sambil menatap Papah, aku tak menjawab dengan suara melainkan hanya dengan menganggkat kedua alisku.

"Papah minta maaf, tadinya Papah mau mewujudkan impianmu membuat lapangan untuk warga sekitar. Namun Papah harus tunda proyek itu bareng Om Wisnu."

Aku kembali menyandarkan bahuku, tak menjawab apapun. Sungguh aku sangat ingin ada sebuah lapangan untuk tempat bermain anak-anak desa. Karena yang mereka butuhkan bukan gedung-gedung pencakar langit, melainkan sebuah lapangan yang tak perlu luas setidaknya bisa untuk dipakai bersama.

Semenjak aku hidup bersama Papahpun yang kami bicarakan selain tentang Kakakku adalah proyek ini, terlebih Om Wisnu yang berbisnis di bidang kontruksipun tertarik menanganin proyek ini.

Dekap sang PunggawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang