Sekolah hari ini aku tak di antar Kakakku, karena hari ini A Bow tengah pergi untuk pertandingan tandang bersama Timnya. Ini sudah biasa bagiku, Kakakku akan pergi dua minggu sekali dengan lama waktu dua sampai empat hari tergantung tempat tandangnya. Menjadi pesepak bola memang punya banyak resiko, selain resiko cedera juga ada resiko jauh dari keluarga. Setiap pekerjaan punya baik dan buruknya masing-masing.
Saat ini aku dan Witan tengah berada di kelas, kami berdua duduk di bangku yang sama atau bisa di katakan kita sebangku.
"Bia."
"Hah?"
"Pulang nanti Kita latihan sepak bola yuk, Kita latihan bersama."
Aku menatapnya, "Enggak bisa Witan."
Witan menunjukan raut muka kecewanya, "Kenapa lagi? Mumpung A Febri lagi enggak adakan? Kapan lagi coba. Jujur aja Bia, kamu juga inginkan jadi pesepak bola?"
Aku kembali menulis catatan yang guru perintahkan sebelum ia meninggalkan kelas karena ada rapat. "Witan, A Bow udah larang Bia, Bia enggak mungkin melakukan sesuatu yang udah di larang A Bow."kataku.
"Diakan enggak tahu,"bisik Witan sambil kembali menulis.
"Tapi Allah tahu Witan..."
Witan mengambil penghapusku, dan menghapus tulisannya di buku kemudian menatapku. "Temani saja aku, Mau?"tanyanya sambil menaikan satu alisnya.
"Temani saja."ulangku memastikan, tapi tanpa menatapnya.
"Iya By, temani saja, aku janji."ujar Witan.
"Abia bukan By."
"Iya Biaku, jangan jutek dong."
"Abia bukan Biaku!"protesku lagi.
Witan mencubit kedua pipiku gemas, "Iya B...I...A...Bia. Sudah puas?"tanyanya sambil mengeja kata 'Bia'.
"Awh...sakit Witan."ringisku sambil memegangi pipi yang tadi Witan cubit.
Witan memegang kedua bagian bawah telinganya seperti orang sedang di hukum, "Maaf..."katanya dengan muka gemas.
Aku yang niat memarahinya jadi tak tega, "Sudahlah, kerjain tugas dulu aja.."
Setelah selesai dengan urusan sekolah karena Witan mengajakku untuk menemaninya latihan sepak bola jadi aku mengikutinya ke salah satu tempat latihan sepak bolanya itu. Aku suka sepak bola, aku ingin jadi salah satu bagian garuda pertiwi, tapi itu semua harus ku kubur Kakakku melarang itu.
Hari mulai sore, Aku dan Witanpun sudah dalam perjalan pulang dari tempat latihan sepak bola Witan. Ayah Witan menjemput kami dengan mobilnya membuat perjalanan yang di isi dengan gemercik hujan ini tak membasahi kami.
"Abia suka sepak bola jugakan? Kok enggak masuk SSB aja kaya Witan? Kakak kamu jugakan pemain bola, pasti senang kalau lihat adiknya ngikutin jejak dia."ucap Ayah Witan di balik kemudi.
"Malah A Febri yang larang Bia main sepak bola, Yah. Padahal Bia jago tau main bolanya."timpal Witan yang duduk di samping Ayahnya.
Aku hanya tersenyum tak tau harus menjawab apa.Tak lama mobil ayah Witan berhenti tepat di depan halaman rumahku, "Abia menginap saja di rumah Om ya? Kakakmu sedang ada pertandingan awaykan?"tanya Om Wisnu sambil berbalik menatapku yang duduk di kursi penumpang belakang.
"Iya Bia, Mamah juga pasti senang kalau lihat kamu menginap di rumah."ajak Witan.
Aku menggeleng, "Enggak usah Om, Tan. Bia udah biasa kok di rumah. Nanti kalau Bia menginap di rumah kalian malah ngerepotin."tolakku halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekap sang Punggawa
Fanfiction#ProjectHalu #BowXBia Tak ada bahu kuat baginya selain bahu sang Kakak, tak ada kaki yang siap melangkah cepat menolongnya selain kaki sang Kakak, juga tak ada dekap paling hangat yang menguatkan selain dekap sang Kakak. Sang Kakak lah semangatnya...