Akhirnya kamipun menyelesaikan perjalanan ini, perjalanan panjang penuh tawa dan canda. Kami pun kembali pulang ke rumah, ini akan jadi moment indah bersama kakakku setelah beberapa bulan terakhir kami habiskan dengan bertengkar. Sampailah kita di depan rumah, nampun nampak ada seorang pria paruh baya terduduk di kursi teras rumah. Pria yang sudah tak asing lagi bagiku.
Setelah kakaku memarkirkan motornya akupun mendekat kepada pria paruh baya itu, memastikan aku tak salah orang. Ternyata setelah mendekat aku tak salah, pria paruh baya dengan badan tegap yang terbungkus kaos polo berwarna merah itu adalah Om Alisson.
Aku melepaskan helmku, lalu menyalami Om Alisson. "Om..."sapaku.
"Udah pada dari mana ini?" tanya Om Alisson dengan senyum.
Kakaku masih berdiri di belakangku,
"Jalan-jalan Om, Om nunggu lama ya? Ada perlu apa sama Bia?"tanyaku, karena yang ku tahu Kakakku belum terlalu mengenal Om Alisson jadi pasti niat kedatangan Om Alisson ke sini adalah bertemu denganku."Ada urusan sama Kakakmu,"jawab Om Alisson sambil menatap kakakku dengan tatapan yang sulit di artikan.
Aku menoleh ke belakang, menatap kakakku yang tatapannya terhadap Om Alisson juga tak bisa aku artikan.
"Masuk, ambil kado kamu di kamar Aa. Udah gitu tidur."ujar Kakkaku kepadaku dengan suara datar tak seperti sebelumnya.
Aku memanyunkan bibirku karena kecewa sikapnya seakan berubah lagi, "Tapi A..."
"Masuk se...ka...rang!"titahnya penuh penekanan.
Aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengkuti perintah kakakku itu, aku melangkahkan kakiku menuju kamar kakakku mencari apa yang ku minta dari dia. Baru saja aku membukakan pintu kamarnya, sudah terlihat jelas ada sebuah amplop berbahan tebal dengan dominasi warna biru dan kuning tergeletak di atas kasur. Amplop sebesar buku tulis itu menampakan wajah kakakku dan beberapa teman satu timnya tengah bergaya gagah dengan jersey berlambang kebanggaan kota bandung. Aku tersenyum karena sudah tau apa isi dari amplop ini. Ku buka perlahan, ku temui selembar tiket masuk stadion untuk pertandingan besok itu benar-benar melengkapi kebahagiaanku hari ini, akhirnya ia memberiku izin untuk mendukungnya secara langsung.
Tak hanya tiket ada pula secarik kertas yang bertuliskan:
Happy Sweet Seventeen, jantung hati Aa. Apapun yang terjadi Aa selalu sayang kamu.
Monster Bow.
Aku hanya bisa terus terusan tersenyum melihat sikap manis yang di berikan kakakku, setelah selesai melihat isi amplop tersebut. Aku berniat keluar dari kamar Kakakku namun sebelum aku melangkah keluar aku melihat ada selembar foto usang yang tergeletak di bawah ranjang tempat tidur kakakku. Aku mengambil foto tersebut perlahan. Di foto itu terlihat ada empat orang, Ibu, Kakakku yang masih kecil tengah cemberut, seorang bayi yang ada di gendongan seorang pria dewasa yang wajahnya tak asing bagiku. Akupun melangkahkan kaki keluar dari kamar kakaku untuk bertanya mengenai foto itu, foto yang sejak kecil aku harapkan, foto yang mungkin itu terdapat seorang yang bisa ku sebut Papah.
Namun belum sampaiku keluar dari rumah menuju teras, aku mendengar kebisingan di luar, akupun mulai ragu untuk melangkah keluar, dan memilih mendengarkan perbincangan antara Om Alisson dan Kakakku di balik jendela yang langsung menatap teras.
"Niat anda kesini buat apa?!"suara A Bow terdengar samar-samar namun membuatku semakin ingin tahu.
"Papah cuman ingin kita hidup bareng-bareng!"
Alangkah terkejutnya aku menyaksikan perbincangan kedua pria yang aku kenal, antara A Bow, dan Om Alisson yang menyebut dirinya Papah di depan Kakakku, ada apa sebenarnya dengan semua ini? Aku kembali menatap foto yang tadi ku temukan di kamar Kakakku, aku melihat pria dewasa yang wajahnya mirip dengan Om Alisson, hanya saja beberapa kerutan kini ada di wajah Om Alisson.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekap sang Punggawa
Fanfiction#ProjectHalu #BowXBia Tak ada bahu kuat baginya selain bahu sang Kakak, tak ada kaki yang siap melangkah cepat menolongnya selain kaki sang Kakak, juga tak ada dekap paling hangat yang menguatkan selain dekap sang Kakak. Sang Kakak lah semangatnya...