Hari ini A Bow akan pergi ke Jakarta untuk memenuhi panggilan Tim nasional Indonesia U-23, aku bangga pada kakakku di usianya yang masih menginjak dua puluh satu tahun ia telah mewujudkan cita-citanya sebagai pemain Tim nasional Indonesia. Tak mudah untuk jadi salah satu bagian punggawa bangsa, ini semua tak lepas dari penampilan memukaunya bersama Tim yang ia bela. Aku membantu Kakakku memakai jaket berbahan jeans. Koper-kopernya sudah menunggu di depan pintu rumah.
"Nanti selama Aa Training Camp, kamu jangan nyusahin Om Wisnu dan Tante Windy. Harus berbuat baik dan nurut apa kata mereka."ucap Kakakku saat aku tengah memasangkan kancing jaketnya.
Aku mengangguk, "Bia ngerti, A Bow enggak usah khawatir. A Bow fokus aja latihannya pokoknya monsternya Bia harus jadi punggawa inti punyanya Indonesia."
Dia mengelus kepalaku, "Aamiin...yang terpenting bisa berbuat baik untuk negeri,"
Aku mengeluarkan lengkung indah bibirku, "Selesai."ucapku setelah selesai memasangkan jaket di tubuh Kakakku dengan rapih.
"Terima kasih."katanya dengan senyum manis.
Aku mengerucutkan bibirku "Jangan senyum, nanti Bia rindu."gerutuku.
A Bow terkekeh, ia mengelus pucuk kepalaku. "Aa akan lebih rindu. Jaga diri baik-baik jangan berbuat yang aneh-aneh di sini."ujarnya sambil mendekapku.
Aku merasakan adanya kehangatan di dalam dekapannya, dekapan yang selalu akan aku rindukan, dekapan yang selalu menenangkan. Andai ia tahu bahwa minggu ini aku akan menjalankan seleksi menjadi punggawa bangsa juga, andai ia mendukungnya pasti semangatku akan bertambah dengan sendirinya.
Kami berduapun melangkahkan kaki keluar rumah, rumah yang akan aku tinggalkan beberapa waktu. Karena kekhawatiran Kakakku, aku sementara di perintahkan tinggal di rumah Witan, dan Mamahnya Witan atau Tante Windy sangat setuju bahkan menuntutku untuk tinggal bersamanya selama Kakakku TC di Jakarta.
Aku dan A Bow berjalan kaki menuju rumah Witan. Aku menggendong tas ransel perlengkapanku untuk menginap, sedangkan Kakakku mengerek kopernya. Rumah kami sudah kunci dengan aman, motor kesayangan A Bow sudah tersimpan aman di dalam rumah. Sampailah aku dan A Bow di rumah Witan, Kakakku mengetuk pintu rumah Witan dan tak lama tante Windy yang membuka.
"Abia...Febri..."sapanya dengan ceria.
"Tante..."aku memeluknya sekilas.
"Tante, Febri titip Bia ya, Maaf kalau Febri ngerepotin tante."kata Kakakku sambil menyalami Tante Windy.
"Malah tante senang, jangan kaya ke orang lain kita kan keluarga, anggap saja Tante sama Om Wisnu itu Mamah dan Ayahnya kalian juga."
"Makasih ya Tante."kataku dengan senyum.
Tante Windy membalas senyumku, "Oh iya, Yu masuk dulu Feb,"
"Enggak usah tante, Febri juga buru-buru. Om Wisnu sama Witannya mana?"tanya Kakakku yang memang tak melihat keberadaan mereka.
"Om Wisnu biasalah masih di kantor, kalau Witan latihan untuk seleksi Tim nasional u-18."
"Oh gitu, yaudah Febri pamit ya Tante. Titip Bia, kalau nakal marahin aja."ucap A Bow
"A Bow,"protesku.
Kali ini Kakakku menatapku, dia mengelus kepalaku, "Jaga diri baik-baik, jangan ngerepotin keluarga Tante Windy. Harus jadi anak baik."katanya.
Bibirku kembali mengerucut menyadari bahwa perpisahan ini akan segera terjadi, Aku memeluknya. "Nanti kalau udah sampai Jakarta kabarin Bia ya. Sering-sering telepon Bia, dua minggu bukan waktu yang sebentar tau!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekap sang Punggawa
Fanfiction#ProjectHalu #BowXBia Tak ada bahu kuat baginya selain bahu sang Kakak, tak ada kaki yang siap melangkah cepat menolongnya selain kaki sang Kakak, juga tak ada dekap paling hangat yang menguatkan selain dekap sang Kakak. Sang Kakak lah semangatnya...