24. Kue Soes

729 90 21
                                    

Sudah terhitung satu minggu aku tak bertemu dan berkomunikasi dengan kakakku, ia juga tak lagi berusaha datang ke rumah Papah untuk menemuiku.

Aku kini tengah membaca sebuah novel di ruang keluarga yang cukup luas, sedangkan Papah duduk di sampingku sambil menonton film dengan cerita peperangan yang sama sekali tak menarik.

"De mau daftar kuliah kemana? Kok kayanya kamu santai banget sih."

Aku mengalihkan tatapanku, ke arah Papah yang tetap fokus menonton. "Bia mau kuliah di luar negeri."

"Oh...yaudah, bagus dong. Mau kemana?"

"Bia enggak tau, pokoknya Bia mau pindah jauh sampai A Bow enggak bisa nemuin Bia."

Papah langsung menatapku seolah terkejut, "Enggak gitu juga...masa gara-gara marahan sama Kakakmu jadi pingin kuliah di luar negeri. Inget kuliah di luar itu enggak main-main de."

"Ya soalnya kalau cuman di luar kota, A Bow pasti bisa nemuin Bia, Pah. Secara pekerjaaan A Bow pemain bola yang suka away keliling Indonesia."

"Jadi masih marah nih sama Kakakmu?"tanya Papah sambil menaikan satu alisnya.

Aku memalingkan wajahku, "Ya habisnya, A Bownya aja sekarang udah enggak nyariin dan bujuk Biakan?"

Papah mengelus rambutku, "Dengerin deh, lelaki itu akan capek juga kalau terus-terusan ngejar Maaf tapi enggak di Maafin, dan itu juga yang Kakakmu rasakan."

Aku hanya terdiam memandang lurus ke arah televisi sambil cemberut.

"Kamu tau, saat kamu di rawat. Malam hari saat Papah dan Wisnu yang jaga Kamu dia datang, dia datang masih dengan kaos official Timnya. Dia datang dan dia khawatirin Kamu, saat itu Papah marah karena dia enggak bisa jaga kamu. Dia juga marah karena lihat Papah berusaha mendekati kamu. Saat itu Papah udah tampar dia, tonjok dia sampai dia berdarah. Papah suruh Om Wisnu buat urus Kakakmu yang udah babak belur. Papah sadar saat itu Papah salah, dan semenjak itu Kakakmu makin membenci Papah dan makin menutup diri sama Papah."tutur Papah cerita panjang lebar.

Aku menengok ke arah Papah, "Oh yang waktu itu berisik di luar ruangan Bia malem-malem itu kalian?"

Papah mengangguk, "Dan kemarin adalah pertamannya Kakakmu yang nyamperin Papah lagi. Kemarin pertama kalinya lagi dia manggil dengan sebutan Papah, walau dia masih bersikap dingin sama Papah, tapi dia udah bisa nurunin egonya demi kamu. Sebatu-batunya Kakakmu dia akan melunak saat masalahnya menyangkut kamu."

"Tapi dia belum minta Maaf sama Papahkan? Dia tetap salah Pah, sesalah-salahnya Papah. Dia tetap salah karena enggak bisa bersikap hormat sama orang tua."

Papah mengelus kepalaku, "Papah cuman mau ngasih tau, Masalah kecil kalau terus di diamkan akan menjadi besar makannya sebisa mungkin kalau masalah masih kecil di selesain saat itu juga. Kalau makin besarkan cara penyelesaiannya juga makin rumit."tutur Papah kemudian ia kembali fokus menyaksikan filmnya.

"Tapi Papah tau enggak? Setiap perempuan hanya ingin merasakan di perjuangkan. Bagi perempuan bukan seberapa besar kesalannya, tapi seberapa besar perjuangannya buat dapat maaf."

Papah tak menjawab ia hanya fokus tertarik pada filmnya. Suara bel pun berbunyi. Aku hendak berdiri namun Papah menahanku, "Papah aja,"sahutnya sambil mematikan televisi.

Aku hanya melihat Papah yang berjalan meninggalkan ruang keluarga, setelah Papah hilang terhalang tembok aku melanjutkan membaca novel. Suara derap langkah tak lama terdengar aku kembali menatap ke belakang melihat siapa yang datang.

"Siapa Pah?"tanyaku sedikit berteriak ketika melihat bayangan manusia yang mendekat.
Tak ada jawaban namun tiba-tiba.

'DARR!!'
Aku terkejut hingga menahan nafas beberapa detik. "WITAN! JAIL!"teriakku kesal.

Dekap sang PunggawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang