10. Bom waktu

752 81 6
                                    

Di tengah sinar mentari sore hari yang sudah ingin pamit meninggalkan langit, aku berjalan bersama Witan. Tas ransel yang kami bawa masing-masing hari ini terasa sangat berat, rasa lelah di sekolah membuat kami bersyukur setidaknya kami merasakan bangku sekolah, banyak anak di luar sana ingin bersekolah namun terbentur beberapa faktor. Rasanya tak adil jika kami mengeluh karena lelah sekolah, sedangkan mereka lelah karena mencari biaya ingin sekolah.

Hari ini juga sepertinya Kakakku akan kembali pulang, setelah mengikuti training camp dengan Tim nasional Indonesia di kelompok umur dua puluh tiga tahun. Rinduku sudah menggebu, walau beberapa hari lalu sebelum pulang ke Bandung ku sempat menemuinya namun kali ini beda, menyambutnya di rumah akan lebih terasa sebagai obat pengurang rindu.

"Bia, enggak akan pulang ke rumahku?"tanya Witan.

Aku menoleh ke arahnya yang tengah berjalan di sampingku. "A Bow mau pulang Tan, masa iya dia pulang Bia enggak ada di rumah. Nanti Bia main ke rumah Witan deh..."jawabku.

"Jangan beri harapan kosong, kalau Kakakmu sudah kembali, mengajakmu bermain itu hal sulit."timpal Witan.

Aku hanya tersenyum, "Witankan tau gimana sifat A Bow."

"Si pengekang dan banyak aturan."sahut Witan dengan muka kesal.

"Dia begitu karena sayang Bia."

"Aku juga sayang kamu, tapi aku enggak mengekang."

Aku menoleh ke arah Witan, kemudian ku acak-acak rambut berjambulnya. "Sayang-sayang...Hoax enggak tuh?Hahaha"tanyaku bercanda sambil tertawa.

"Bia jambulku!"geram Witan.

Aku tertawa dan berlari meninggalkan Witan,
"Bia! Jangan lari! Awas ya!"

Kamipun lari memasuki area kompleks perumahan kami, "Pa Satpam tolong, ada yang kejar Bia...hahaha..."teriaku ketika melihat satpam komplekku.

Pa Satpam itu terlihat kaget, ia melihat ke arah belakangku,

"Om Satpam, tahan Bia..."teriak Witan.

Satpam itu hanya terkekeh melihat kami, "Awas Neng Bia, Jang Witan bisi jatuh."ucap Satpam itu.

"Biarin Om, si Bia kalau jatuh terbang."ujar Witan yang membuatku makin tertawa sambil berlari.

Tak terasa aku sudah berdiri di depan halaman rumahku, "Udahan Witan, Bia udah finish."kataku sambil menetralkan nafas kembali.

Witan mendekat dan mencubit pipiku, "Kena!"

Aku mengerenyitkan dahiku, "Witan..."

Dia menjulurkan lidahnya dan kembali berlari, "Sampai besok Bia!"

Aku hanya memutar bola mataku malas, setelah Witan tak lagi terlihat, aku masuk kedalam rumahku, saat ingin membuka pintu dengan kunci ternyata pintu rumahku tidak terkunci. Otakku langsung bekerja mengingat, apakah tadi pagi aku tak menguncinya? Sepertinya tadi pagi sudah ku kunci rapat. Jantungku berdebar, bayanganku tentang perampok yang masuk langsung mengisi otakku. Perlahan ku masuki rumah, namun yang pertama ku lihat adalah Kakakku, membuat aku menarik nafas lega. "Aa! Bia kira ada maling masuk."ucapku sambil menutup pintu rumah.

Ku lihat Kakakku tengah terduduk di sofa dengan memegang sebuah kertas, ku salami ia. Dan duduk di sebrang A Bow.

"Sejak kapan A Bow sampai Bandung?"tanyaku.

Kakakku menatap sinis, "Baru, kamu habis ngapain? Keringetan gitu!"

Aku menyeka keringatku di dahi. "Lari-larian hehe."jawbaku cengegesan.

A Bow terlihat menarik nafasnya panjang, sebelum ia memberiku secarik kertas yang sejak tadi ia pegang.

"Ini apa A?"tanyaku sambil fokus membaca isi surat.

Dekap sang PunggawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang