Bu Vivi, guru matematika yang sekaligus wali kelasku datang. Ia bersama seorang siswa yang kuyakin seorang siswa baru. Aku perhatikan, di telinganya terdapat alat bantu dengar. Aku segera meletakkan buku tulis sejarah ke kolong meja.
"Nama saya Baskara, biasa dipanggil Abas." Katanya dengan suara yang tidak terlalu jelas.
Bu Vivi memersilahkan Abas duduk di depanku. Ia duduk seorang diri. Setelah duduk, ia menengok ke belakang, ke arahku. Segera aku mengenalkan diriku pada Abas.
"Starla Amanda, panggil aja Lala." Kataku sambil menjabat tangannya.
"Bintang." Kata teman sebangkuku. Ia tidak berjabatan tangan dengan Abas, namun ia tersenyum saat menyebut namanya.
Proses kegiatan belajar mengajar segera berlangsung hari itu. Kami belajar mengenai barisan dan deret aritmetika. Entahlah, aku tidak terlalu mengerti soal matematika, tapi aku harus terlihat mengerti di depan Bu Vivi agar tidak terlihat sangat bodoh.
Bu Vivi memberikan contoh-contoh soal, dan menerangkan bagaimana cara menyelesaikannya. Setelahnya, Bu Vivi keluar kelas setelah memberikan soal-soal untuk segera dikerjakan hari itu juga. Aku menoleh ke arah Bintang, mendapati ia sedang serius mengerjakan soal-soal itu.
Aku menggeser dudukku, mendekati Bintang. "Bi." Panggilku yang berniat untuk mencontek apa yang ia kerjakan. Namun Bintang menghiraukanku.
"Bi." Panggilku sekali lagi.
"Jangan ganggu." Katanya tanpa melirikku. Ia sangat sibuk mengerjakan soal-soal itu.
Ini memang sering terjadi. Saat sedang fokus mengerjakan sesuatu, Bintang tidak pernah mau diganggu. Saat fokus, ia harus menyelesaikannya dulu, mungkin setelah selesai ia mau memberikan padaku hasil kerjaannya. Tapi, aku takut terlalu lama menyalin, hingga ingin segera menyalin saat Bintang sedang mengerjakan.
"Liat dikit." Aku menggeser sedikit tanggannya yang sedang menulis.
"La!" Katanya kesal sambil melirikku sesaat.
"Keburu bel, Bi. Takutnya dikumpulin hari ini juga."
"Sabar kek! Sebentar lagi juga selesai."
Aku yang sebal, segera menggeser dudukku sedikit menjauh darinya. Aku sebal dengannya karena sangat tidak pengertian.
"Bi, lu udah selesai?" Tanya Najla yang sudah berdiri di depan meja kami. Najla adalah teman sekelasku yang cantik. Bahkan menurutku, ia adalah perempuan tercantik di sekolah ini. Mungkin berlebihan, tapi kenyataannya ia sangat cantik. Kulitnya putih, tubuhnya tinggi langsing, rambutnya yang belah tengah membuatnya terlihat sangat menawan. Tidak sepertiku. Rambutku poni depan. Aku sengaja, karena ingin menutupi jidatku yang agak lebar.
Bintang menoleh ke arah Najla sebetar, dan kembali fokus pada apa yang ia kerjakan. "Udah, nih, sebentar." Kata Bintang yang tangannya masih menulis. Setelahnya, ia berikan bukunya pada Najla.
"Pinjem sebentar, ya, Bi." Najla tersenyum sebelum ia kembali ke kursinya.
Aku memukul lengan Bintang. "Kok lu kasih dia?" Bisikku.
"Ya, dia minta?" Bintang balas berbisik.
"Lu pikir dari tadi gue manggilin lu mau ngapain? Ngajak balap karung? Enggak! Gue pengen nyontek juga!"
"Ya, yaudah, sih. Nanti aja, abis Najla."
"Kok lu ngeduluin dia, sih. Kan gue duluan yang minta?!"
"Abis dia cantik banget, gue enggak bisa nolaknya."
"Gue setuju. Dia cantik banget." Potong Zaki.
"Gue juga setuju." Sahut Udin.
Aku menatap mereka berdua sebentar, kesal sekali rasanya mereka berdua ikut campur saja urusanku dengan Bintang. Tapi tetap saja, Bintang yang membuatku lebih kesal karena memberikan bukunya pada Najla. Aku mencubit kencang lengan Bintang. "Nyebelin banget sih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Senin Pagi
RomanceKisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Kisahku, perempuan bodoh yang terpaksa duduk sebangku dengan laki-laki pintar yang menyebalkan. -- Aku mencarinya di dalam tas, semua isi tas kukeluarkan dan kuletakkan di atas meja. Namun tetap tidak ada. Ak...