Rindu Senin Pagi | 13

239 24 1
                                    

Setelah hari itu, kehidupan di sekolah semakin membaik. Abas tidak lagi diganggu oleh Juli dan teman-temannya yang lain. Senang sekali rasanya melihat Abas bisa bersekolah dengan tenang di sini. Tidak seperti di sekolah sebelumnya, dan tidak seperti awal-awal dia bersekolah di sini.

Semua ini berkat Bintang. Jika Bintang tidak membela Abas, bisa jadi, sampai sekarang Abas masih saja diganggu. Bisa jadi Abas masih sering diminta uangnya oleh Juli dan teman-temannya. Bintang begitu berjasa buat Abas.

Meskipun yang sebenarnya ditakuti oleh Juli adalah Riky, abangnya Bintang. Namun tetap saja yang begitu berjasa bagi Abas adalah Bintang. Riky menghajar Juli karena tidak terima adiknya diganggu. Bukan karena ia berniat untuk membantu Abas.

Karena begitu nyamannya bermain bersama Bintang dan Abas, aku semakin jarang bertemu dengan Fajar. Kadang aku merindukannya. Rasanya, ingin sekali aku duduk dan bicara panjang dengannya seperti saat kelas sepuluh dulu, namun nyatanya kami terpisah. Sehingga jarang sekali bertemmu.

--

Setelah beberapa hari membawa bekal ke sekolah, kini, aku tidak lagi membawanya. Sengaja, aku tidak mau ibuku harus memasakkan makanan untukku setiap pagi. Jadi, aku minta untuk tidak usah menyiapkan bekal untukku sering-sering.

Siang ini, saat jam istirahat, di kantin, aku melihat Fajar sedang duduk sendiri. Maka, dengan cepat aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Kami bicara hal-hal biasa. Mulai dari tugas sekolah, dan kegiatan akhir-akhir ini. Kemudian ia menanyakan soal keributan antara Juli dan Bintang. Aku jelaskan saja kejadiannya. Apa yang dilakukan Juli pada Abas yang mengakibatkan Bintang membela Abas.

Lalu kujelaskan juga akhirnya Riky yang tidak terima adiknya diganggu oleh Juli, menemui Juli dan menghajarnya, lalu meminta untuk tidak ada yang mengganggu Bintang dan Abas lagi.

"Pantes Juli takut." Katanya sesaat aku menceritakan yang terjadi.

"Kenapa emang?"

"Dari yang gue tau, Riky itu kan kelas dua belas. Dia juga nongkrongnya sama jagoan-jagoan di kelas dua belas."

"Oh gitu? Wajar aja Juli takut."

"Iya. Di sekolah ini, enggak ada junior yang berani sama senior yang satu tongkrongan sama mereka."

"Lu berani?"

"Enggak."

"Kalo sama Juli, berani?"

"Enggak juga. Serem gitu, mana berani gue." Katanya lagi. Aku terdiam saat mendengar jawabannya. Aku sedikit kecewa saat mengetahui dia tidak berani bertengkar dengan Juli. Beda sekali dengan Bintang, teman sebangkuku. Dia pernah bilang, sebagai laki-laki, seharusnya tidak ada yang ditakuti kecuali Tuhan.

Ternyata Fajar hanya nakal dan malas belajar, namun nyalinya tidak terlalu besar. Ia bukan laki-laki pemberani. Aku kira, semua laki-laki yang senang nongkrong dan jarang belajar memiliki keberanian yang tinggi. Tapi nyatanya keberanian orang tidak bisa diukur dari gayanya. Tapi, yasudahlah, setidaknya ia jujur padaku bahwa ia tidak terlalu berani untuk ribut dengan Juli ataupun senior di sekolah.

Aku tidak terlalu mempermasalahkan mengenai keberanian dia untuk melawan orang-orang jahat di sekolah. Aku tetap menerima Fajar apa adanya.

--

Manusia memang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Mungkin Fajar bukan laki-laki bernyali besar, namun ia bisa membuatku jatuh hati karena sikapnya padaku. Meskipun kini kami jarang bertemu, aku tetap menunggunya. Karena aku rasa, suatu saat Fajar akan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku sudah lama menunggu hal itu terjadi. Namun nyatanya, apa yang selama ini kuharapkan tidak berjalan semestinya.

Saat itu, setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku yang masih ingin banyak bicara dengannya mencoba untuk menemuinya lagi. Sehingga aku buru-buru berjalan menuju kelasnya. Entah kenapa, hari itu, aku seperti sangat merindukannya. Ingin rasanya aku bertemu dan memintanya untuk mengantarku pulang.

Namu saat melihatnya, bukan rasa senang yang hadir di dalam perasaanku. Tapi kekecewaan yang cukup mendalam. Setelah beberapa bulan merasa lebih dekat dengannya, ternyata saat kelas sebelas, dia dekat dengan perempuan lain tanpa sepengetahuanku.

Ia tidak pernah cerita apa-apa soal perempuan ini. Ia juga tidak pernah menyebut namanya saat sedang bersamaku. Namun, dari luar kelas, aku melihat seorang perempuan duduk di sampingnya sambil bersandar di pundak Fajar. Mereka mengenakan satu earphone untuk berdua. Aku tidak tahu apa yang terjadi sampai mereka berduaa terlihat mesra sekali. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa perempuan itu bersandar di pundak Fajar. Yang jelas, perasaanku saat itu sangat sakit.

Tidak berlama-lama aku melihat apa yang terjadi di dalam kelasnya, aku segera pergi dari sana. Dan berjalan untuk pulang. Perasaanku kacau sekali, aku tidak terlalu fokus berjalan pulang. Mataku pasti sudah berkaca-kaca, namun aku menahannya. Jangan sampai menangis sebelum sampai rumah.

Di lorong sekolah, menuju gerbang. Bintang melihatku berjalan.

"La!" Katanya. Aku pura-pura tidak mendengarnya, dan terus berjalan menuju gerbang sekolah. Namun Bintang justru berlari mengejarku.

"La!" Katanya sekali lagi sampai akhirnya ia sudah berada di sampingku. Aku berhenti, untuk mendengar apa yang ia ingin katakan, namun posisi kepalaku tetap menunduk, berharap ia tidak tahu bahwa aku sedang menahan tangis.

"Dasar nenek-nenek, Pelupa! Handphone lu ketinggalan, nih!" Makinya sambil menyodorkan ponsel itu padaku. Aku mengambilnya, namun Bintang yang sedari tadi menatapku sepertinya menyadari kesedihanku.

"Lu kenapa?" Bintang merendahkan tubuhnya, menatap wajahku dengan cukup dekat. Pertanyaan itu merusak apa yang sedari tadi kutahan. Air mataku akhirnya keluar, aku menangis. Menangis di depan Bintang. Aku kesal sekali, hal ini terjadi. Ia pasti akan meledekku, atau mungkin memarahiku karena cengeng.

"Lah? Kok tiba-tiba nangis?" Tanyanya heran. "Lu kenapa, La?" Tanyanya sekali lagi. Aku yang sedang menangis tidak bisa menjawabnya. Mulut ini sulit sekali untuk bicara.

"Jangan nangis, La. Nanti gue dikira ngapa-ngapain." Ia menarik tanganku untuk duduk di kursi terdekat di lorong sekolah. Banyak murid lain yang berlalu-lalang bergantian, sepertinya mereka memperhatikan aku dan Bintang. Aku menangis, sedih, sekaligus malu.

"Cerita, La." Katanya sekali lagi. Aku mencoba untuk berhenti menangis. Bintang memang kini sudah kuanggap teman dekat, namun aku tidak ingin menceritakan hal ini padanya. Aku takut ia meledekku.

"Gapapa." Jawabku singkat dengan suara yang sedikit berbeda karena sedang menangis. Aku sedang sakit hati, rasanya, aku tidak ingin bicara sama sekali. Namun, aku juga tidak bisa berjalan pulang dengan kondisi seperti ini. Bintang yang kini ada di sampingku terus menanyakan kondisiku.

"Gapapa gimana? Nangis kaya gini, pasti ada apa-apa." Balasnya pelan. Aku terdiam, air mataku tidak berhenti terjatuh.

"La." Bintang menyentuh pundakku. "Are you okay?" Tanyanya pelan.

"No,i'm not."Jawabku singkat, masih dengan tersedu-sedu. Bintang terdiam. Meskipun akumenunduk, aku rasa ia masih menatapku.

Rindu Senin PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang