Aku terbangun dari tidurku, mendapati Nur sudah tidak lagi di sampingku. Barang-barang Nur sudah rapi tersusun di sisi kamar, barang-barangku juga ia bereskan. Siang ini waktunya untuk pulang ke jakarta. Wajar saja jika Nur sudah mengemas barang-barangnya.
Aku mengambil ponsel, dan melihat waktu sudah pukul delapan pagi. Dengan cepat, aku segera bangkit dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Setelahnya, aku pergi ke ruang tengah.
Saat membuka pintu kamar, aku melihat Bintang, Nur, dan Abas sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menonton televisi. Mereka juga memegang mangkuk yang berisi bubur kacang hijau.
"Sarapan, La." Sahut Bintang seraya mengangkat mangkuknya.
"Itu ambil aja, di dapur." Nur juga bersuara.
"Iyaa." Kataku pelan sambil berjalan ke arah dapur. Di sana, aku melihat bubur kacang hijau dan roti tawar yang sudah tergeletak di meja dapur. Aku mengambilnya, lalu bergabung bersama mereka di ruang tengah.
"Tidur duluan, bangun belakangan. Dasar kebo!" Ledek Bintang saat aku tiba.
"Sirik aja lu!" Jawabku ketus.
"Hahaha. Sekarang udah puas tidurnya?"
"Udaaah."
"Nanti kita pulang abis zuhur, ya." Ucap Abas sambil menatapku. "Kita makan siang di jalan aja." Lanjutnya.
"Iyaa, Bas."
Pemandangan di luar vila sangat indah. Pagi itu, terasa sangat dingin. Sambil memandang jendela, aku memperhatikan pemandangan di luar. Seandainya lingkunganku seperti di sini. Mungkin tidurku selalu kebablasan sampai siang. Karena sangat dingin, dan di pagi yang dingin, menurutku hal yang paling enak adalah melanjutkan tidur.
Setelah sarapan, semuanya siap-siap. Satu persatu mandi, lalu memakai pakaian untuk pulang ke Jakarta. Saat itu, Abas dan Nur mandi lebih dulu, sedangkan aku dan Bintang memilih untuk santai-santai dulu. Bintang mengajakku keluar, melihat-lihat pemandangan sekalian menikmati udara pagi di puncak.
"Sana, La, duduk. Gue foto." Bintang menunjuk sebuah ayunan. Ia memintaku untuk duduk di ayunan taman.
"Enggak, ah. Belum mandi gue."
"Apa bedanya, sih?" Tanyanya. "Mandi-enggak-mandi gitu-gitu aja."
Aku memukul pelan lengannya. "Enak aja kalo ngomong!"
"Gitu-gitu aja maksudnya cakep-cakep aja. Negatif mulu nih pikirannya ke gue."
"Halah, bisa aja ngelesnya kaya bajaj."
"Bajaj les bahasa inggris apa gimana?"
"Bukan. Maksudnya tuh ngeles. Kaya gimana ya jelasinnya."
"Hahahaha."
"Tau ah, bingung gue ngejelasinnya."
"Iyaa, gue paham kok." Balasnya. "Yaudah sana cepet duduk."
Aku menuruti perintahnya. Walaupun dengan rasa sedikit malu karena belum mandi. Tapi setidaknya Bintang bilang, aku, mandi ataupun tidak mandi sama saja. Kata-kata itu cukup menghiburku dan meningkatkan percaya diriku untuk berfoto pagi ini.
Mungkin Bintang berbohong soal itu. Mana mungkin ada orang yang belum mandi, penampilannya tetap terlihat baik? Aku rasa tidak ada. Jangan-jangan Bintang hanya ingin memujiku. Aku sedikit salah tingkah dibuatnya karena ucapannya.
"Sini, gantian." Aku bangkit dari ayunan itu dan mengambil ponsel Bintang. Lalu gantian, aku yang memotretnya.
"Gaya, dong!" Teriakku. Bintang sangat kaku. Ia hanya duduk di ayunan dan tersenyum. Beberapa kali foto, tidak ada yang berubah. Mungkin hanya senyumnya yang sedikit melebar, atau posisi rambutnya yang berubah karena tertiup angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Senin Pagi
Lãng mạnKisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Kisahku, perempuan bodoh yang terpaksa duduk sebangku dengan laki-laki pintar yang menyebalkan. -- Aku mencarinya di dalam tas, semua isi tas kukeluarkan dan kuletakkan di atas meja. Namun tetap tidak ada. Ak...