Rindu Senin Pagi | 08

286 32 1
                                    

Tak lama setelah aku sampai rumah, Nur datang ke rumahku. Katanya hujan masih lebat, kalau menunggu hujan reda di sekolah rasanya membosankan. Maka ia sengaja jalan kaki ke rumahku untuk berteduh dan beristirahat. Untungnya ia selalu membawa payung. Lagi pula, kedua orang tuaku belum pulang dari kantornya. Jadi, cukup menyenangkan jika ada teman yang menemaniku di rumah sampai orang tuaku pulang.

"Tadi gue dianterin pulang sama Abas." Kataku saat kami duduk bersebelahan di sofa sambil menonton acara talk show di televisi.

"Abas yang murid baru itu?" Tanyanya. Ia masih menatap televisi.

"Iyaa, gara-gara hujan. Terus dia nawarin tumpangan naik mobilnya."

"Bagus, dong. Kalo pulangnya dianterin Fajar, tetep aja kehujanan kan? Hahaha." Ia tertawa.

"Iyaa. Eh tapi, semenjak kelas sebelas, gue jarang ngobrol sama Fajar. Tadi gue ketemu, terus cerita, tapi dia kaya buru-buru pergi." Kataku pelan.

Nur menoleh. "Emang selain ketemu di sekolah, dia enggak pernah telepon?"

"Enggak. Dulu waktu liburan kenaikan kelas, sih, dia sering nelepon gue. Tapi sekarang udah enggak pernah." Kataku. "Kemarenan dia nganterin gue pulang. Tapi cuma sekedar nganterin pulang doang, enggak main dulu."

"Kenapa enggak lu aja yang nelepon dia duluan."

"Enggak, ah, Nur. Gue malu. Gue enggak bisa mulai duluan."

"Sesekali enggak apa-apa, La."

"Gue sih kadang kepikiran untuk nelepon duluan. Kadang gue kangen banget sama dia. Tapi, selain malu, gengsi juga sebagai perempuan untuk mulai duluan."

"Hahaha, yaudah, La. Kalo dia beneran suka sama lu, pasti dia nanti deket-deket lagi, kok, La." Kata Nur yang berupaya menenangkanku.

Aku menoleh ke arahnya. "Ya semoga aja." Aku tersenyum. "Soalnya kadang gue kangen sama dia. Kangen aja gitu ngobrol sama dia, terus diperhatiin."

"Iyaa, gue ngerti." Nur menepuk-nepuk pundakku.

--

Bel tanda jam istirahat sudah terdengar. Hari ini tidak pergi ke kantin karena sengaja membawa bekal dari rumah. Tadi pagi, Ibuku sudah memasakkanku nasi goreng dan telur dadar untukku santap di waktu istirahat hari ini.

Abas dan beberapa siswa di kelas mulai meninggalkan kelas untuk memanfaatkan jam istirahat. Ada yang ke kantin, ada yang ke kelas temannya untuk bermain, ada juga yang ke mushola untuk menunaikan ibadah sholat dhuha.

"Tumben banget bawa bekel?" Bintang memandangku dengan tatapan heran. Aku mengeluarkan bekal yang sejak pagi terletak di dalam tasku.

"Sengaja, biar makan bareng sama Abas."

"Mau makan bareng Abas apa mau makan bareng sama gue?" Bintang mengeluarkan bekalnya.

"Yeee, pede banget, lu!"

Kami mulai menyantap makanan masing-masing. "Kok lu setiap hari bawa bekel, Bi?" Tanyaku saat sudah selesai mengunyah satu suapan makananku.

"Nyokap gue setiap pagi masak, gue bawa aja. Daripada enggak dimakan, mubazir." Jawabnya. Matanya fokus pada apa yang ada di atas mejanya.

"Emang enggak pengen jajan di sekolah?"

"Kadang-kadang gue jajan di kantin. Cuma kalo ada makanan di rumah, kenapa gue harus beli di kantin setiap hari?"

"Iya, sih. Bener." Kataku sebelum menyuap satu suapan lagi.

Abas datang membawa sekotak batagor. Ia duduk di mejanya menghadap kami.

Rindu Senin PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang