"Gimana? Bisa?" Tanya Bintang saat kami sudah berada di luar kelas. Ujian akhir semester kali ini, aku tidak sekelas dengan Bintang. Karena, setiap kelas dibagi menjadi dua ruangan. Dua puluh murid di ruangan satu, dua puluh muridnya lagi di ruangan yang lain. Dan saat ujian, kami duduk sebangku dengan murid kelas sepuluh. Itulah alasan aku belajar dengan Bintang semalam. Karena memang aku tidak bisa mencontek Bintang.
"Alhamdulillah, bisa." Jawabku sedikit riang. Pagi itu aku senang sekali karena bisa menyelesaikan soal UAS matematika dengan baik. Meskipun aku belum tahu jawabanku banyak yang benar atau lebih banyak yang salah, tapi, setidaknya aku mengerjakan sesuai dengan apa yang diajarkan Bintang semalam.
"Soalnya enggak terlalu susah ya?" Tanyanya.
"Lumayan susah, tapi untungnya enggak beda jauh sama yang kita pelajarin kemaren."
"Gitu, dong. Bagus. Besok-besok harus semakin rajin belajar, biar kalo ada ujian kaya gini enggak pusing.
"Iyaa, asal ada yang mau ngajarin, mah, gue mau-mau aja."
"Hahaha. Siaap." Katanya. Bintang duduk di kursi di depan kelas, lalu membuka buku pelajaran sejarah. Ujian selanjutnya adalah pelajaran sejarah. Aku sengaja tidak mempelajari itu semalam, karena aku punya catatan yang harus kubaca untuk menghadapi UAS sejarah. Jadi, aku hanya perlu membaca itu di rumah semalam dan pagi ini sebelum bel masuk ujian berbunyi.
Kami menghabiskan waktu untuk belajar berdua di depan kelas. Rasanya, baru kali ini aku memiliki semangat belajar yang lebih besar dari biasanya. Bintang memang membawa pengaruh yang cukup baik untukku. Bintang mampu merubahku yang sangat malas belajar, jadi memiliki keinginan seperti hari ini.
Abas keluar dari kelasnya, lalu duduk bersama aku dan Bintang.
"Gimana, Bas? Bisa?" Aku nanya.
"Susah."
"Kemaren belajar enggak?"
"Belajar, tapi tadi soalnya susah." Jawabnya.
"Yaudah, sekarang belajar lagi, pelajaran sejarah. Bawa buku catetan, kan?" Bintang nanya.
"Bawa, kok."
"Yaudah, sekarang belajar lagi. Mumpung masih ada waktu buat baca-baca." Kata Bintang. Abas menuruti apa kata Bintang, ia segera mengambil buku catatan sejarah dan membacanya bersama.
"Lu duduk sama cewek apa cowok, La?"
"Cewek."
"Sama, gue juga duduk sama cewek."
"Siapa?"
"Enggak tau, gue enggak merhatiin namanya. Tapi kayanya pinter, deh. Gue liat dia cepet banget selesainya."
"Hahaha, beda ya sama gue?"
"Ya enggak begitu, maksudnya. Jangan dibanding-bandingin."
"Hahaha, iyaa-iyaa."
"Yaudah baca lagi." Katanya sebelum akhirnya ia kembali membaca-baca bukunya.
Setelah semalam belajar matematika dan pagi ini kami belajar sejarah bersama, kini, setiap ada pelajaran yang tidak terlalu aku mengerti, aku selalu meminta belajar bersama Bintang. Aku belajar lagi di rumahnya, dan kadang di kafe tempat Bintang biasa belajar. Yang dipelajari memang menurutku sangat sulit. Seperti pelajaran kimia, fisika, dan biologi. Tidak hanya aku yang belajar dengan Bintang, terkadang, Abas juga ikut belajar bersamaku. Hingga akhirnya ujian akhir semester aku lalui dengan perasaan yang cukup baik.
--
"Tante." Sapa Bintang sambil salim pada Ibuku setelah aku dan Ibuku baru keluar dari kelas. Siang ini Ibuku mengambil rapor semester ganjil. Aku sudah melihat Bintang sudah lebih dulu mengambil rapor bersama ibunya, setelah ia keluar kelas, ia menungguku di depan. Sepertinya ibunya pulang lebih dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Senin Pagi
RomanceKisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Kisahku, perempuan bodoh yang terpaksa duduk sebangku dengan laki-laki pintar yang menyebalkan. -- Aku mencarinya di dalam tas, semua isi tas kukeluarkan dan kuletakkan di atas meja. Namun tetap tidak ada. Ak...