"Apapun masalahnya, inget ya, La. Selalu ada orang-orang yang sayang sama lu, dan sama sekali enggak mau liat lu sedih-sedih kaya gini." Katanya pelan. Aku merasa Bintang bicara dengan sangat lembut. Berbeda sekali dengan sebelum-sebelumnya.
Biasanya, ia memakiku, jika merasa aku mengganggunya. Ia sering sekali membentakku jika aku melakukan hal-hal yang ia rasa tidak seharusnya dilakukan. Namun, siang ini ia berbeda. Bintang sangat lembut. Aku yang sakit hati karena melihat apa yang dilakukan Fajar, kini justru tidak lagi memikirkan hal itu. Aku memikirkan apa yang baru saja Bintang lakukan. Manis sekali.
Aku mengangkat kepalaku, memandangnya. Entah bagaimana bentukku saat ini karena sedang menangis, aku tidak terlalu peduli. Aku ingin melihat Bintang. Ini kejadian yang langka menurutku, maka aku harus melihat bagaimana ia memandangku.
Pandangannya juga berbeda. Tatapannya kali ini berbeda. Ia terlihat begitu peduli denganku. Aku senang sekali dengan apa yang ia lakukan siang ini. Bintang, teman sebangkuku yang menyebalkan, kini menjadi orang yang begitu berarti untukku. Kali ini, aku bersukur bisa mengenalnya.
"Kalo perasaan lu lagi enggak enak. Bukan sesuatu yang aneh kalo lu nangis. Gapapa, keluarin aja air matanya. Itu hal wajar. Tapi, apa yang lu rasain sekarang pasti cuma sementara, enggak mungkin berkepanjangan. Lu harus kuat-kuat." Katanya sekali lagi. Lembut sekali.
Aku terus menatapnya. Lalu mengangguk pelan. Aku menyadari kini tangisku telah terhenti. Itu karena ulahnya, ia membuatku lupa dengan apa yang membuatku menangis.
Ia mengusap-usap pundakku. "Yaudah, ayo gue anter pulang."
Bintang berdiri, ia menyodorkan tangannya untukku. Aku meletakkan tanganku di atas telapak tangannya. Ia menarik tanganku untuk membantuku berdiri. Lalu kami berjalan menuju tempat parkir motor yang tidak terlalu jauh dari tempatku duduk tadi.
Sesampainya di parkiran motor, kami mendekati sepeda motornya. Bintang membuka jok motornya, mengeluarkan satu helm yang di simpan di dalamnya dan menyerahkannya padaku.
"Pake."
"Rumah gue enggak jauh."
"Tetep harus pake."
"Kenapa?"
"Gue bisa aja lalai bawa motor. Cuma helm yang bisa jagain kepala kita." Ucapnya menjelaskan. Aku mengambil helm itu, lalu memakainya. Bintang mengambil helm yang tersangkut di kaca spion motornya, lalu mengenakannya.
"Harus dikunci." Katanya sambil mengunci tali helmku. Aku menatapnya. Ia juga menatapku. "Kenapa?" Tanyanya. Aku hanya menggeleng.
"Ohiya, rumah lu dimana?"
"Radio dalam."
"Oh deket. Yaudah, yuk." Ia menaiki motornya. Aku ikut duduk di belakangnya. Lalu motor itu berjalan. Di sepanjang perjalanan, kami tidak bicara banyak. Hanya sesekali, itupun ketika aku menujukkan jalan arah rumahku.
--
Aku menyuruhnya menghentikan sepeda motornya tepat di depan gerbang rumahku. Setelah berhenti, aku langsung turun dari sepeda motornya, lalu melepas helm yang sejak tadi kupakai.
"Mampir dulu?" Aku memberikan helm itu padanya.
"Mampir? Ia mengambil helm itu, lalu menggantungnya di gantungan sepeda motornya.
"Iya."
"Ada siapa di rumah?"
"Enggak ada siapa-siapa."
"Enggak, ah. Enggak enak kalo enggak ada siapa-siapa." Katanya. Aku terdiam menatapnya. Perasaanku sudah cukup lega, sudah baikan. Tadi memang aku ingin segera pulang dan tidak ingin banyak bicara dengannya. Namun, setelah sampai rumah, perasaan itu berbeda. Aku jadi ingin berlama-lama bersama Bintang. Ia yang sudah berhasil menenangkanku tadi. Aku ingin banyak bicara dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Senin Pagi
RomanceKisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Kisahku, perempuan bodoh yang terpaksa duduk sebangku dengan laki-laki pintar yang menyebalkan. -- Aku mencarinya di dalam tas, semua isi tas kukeluarkan dan kuletakkan di atas meja. Namun tetap tidak ada. Ak...