Rindu Senin Pagi | 25

422 36 26
                                    

Setelah merasa cukup berfoto-foto dengan Bintang, aku kembali ke dalam vila, dan masuk ke kamar. Disana, aku mendapati Nur sedang merapikan baju kotornya, dan memasukannya ke dalam tasnya.

"Udah siap, Nur?"

"Udah, gue udah siap-siap dari tadi pagi."

"Yaudah, gue mandi dulu, ya." Aku mengambil handuk yang kugantung di belakang pintu, lalu masuk ke dalam kamar mandi.

"Alat-alat mandi, jangan sampe ketinggalan, ya, La."

"Iyaaa." Kataku dari dalam kamar mandi.

Setelah mandi dan mengganti baju, merapikan sedikit barang-barangku yang masih berada di luar tas. Termasuk handuk dan baju kotorku tadi. Nur sudah di luar, barang-barangnya sudah tidak ada di kamar.

Setelah bersiap-siap untuk pulang. Aku berjalan ke ruang tengah, dan berkumpul dengan Nur, Bintang, dan Abas yang juga sudah siap. Tas dan barang-barang lainnya, kamu letakkan di atas meja ruang tengah. Sambil menunggu mobil Abas dipanaskan mesinnya, kami ke luar untuk foto-foto secara ganti-gantian.

Saat aku dan Nur sedang difoto oleh Abas. Tiba-tiba Bintang meminta gantian, Ia ingin berfoto berdua denganku. Aku senang, namun sedikit malu karena dilihat oleh Nur dan Abas. Kutengok Nur sedang tersenyum menggodaku. Aku ikut tersenyum.

"Rangkul, dong. Masa gayanya datar banget." Kata Nur menggodaku.

Aku dan Bintang saling tatap dan tertawa, namun tidak berani mengikuti kata Nur. Lalu lanjut berfoto dengan gaya biasa, namun dengan posisi foto yang berbeda, dan mungkin dengan lebar senyum yang berbeda juga.

"Udah, yuk, pulang." Kata Abas setelah kami berfoto-foto.

"Ayo." Sahut Bintang.

Kami mengambil barang masing-masing di dalam vila, lalu satu per satu diantara kami memasuki mobil. Dan berangkat ke Jakarta.

Rasanya, sulit sekali meninggalkan vila milik keluarga Abas. Bukan hanya karena kenyamanan tempatnya dan keindahan pemandangan alamnya. Vilanya memang besar, memiliki banyak kamar dan fasilitas yang baik seperti kolam renang, lapangan, dan taman bermain. Namun sekali lagi, kukatakan. Bukan hanya karena itu.

Tapi karena hal-hal kecil yang dilakukan Bintang. Laki-laki yang sebelumnya tidak aku senangi karena sikap dinginnya saat awal duduk sebangku denganku. Laki-laki yang hanya bisa berkomentar tanpa memberikan satupun solusi untukku saat kesusahan di kelas.

Bintang melakukan hal yang membuatku merasakan sesuatu di dadaku. Rasanya, seperti aku bahagia sekali bisa mengenalnya. Bahagia sekali bisa diperlakukan seolah spesial oleh Bintang. Mungkin, bukan apa yang ia lakukan itu bukan hanya dilakukan kepadaku, mungkin banyak perempuan yang merasakan itu.

Kamu ingat? Aku pernah bilang, saat kelas sepuluh, ada saja beberapa teman sekelasku yang menyukai Bintang. Mereka bilang karena Bintang itu pintar dan tidak pernah bermalas-malasan. Memang nyatanya, di kelas sepuluh waktu itu, jarang ada murid laki-laki yang rajin seperti Bintang. Rata-rata mereka gemar bermain, bercanda-canda di dalam kelas, atau tidur di kursi bagian belakang.

Mereka itu berbeda dengan teman sebangkuku saat ini. Bintang tidak pernah terlihat tertidur di kelas. Mungkin tidurnya selalu cukup di rumah. Ia juga tidak pernah dimarahi karena tidak mengerjakan tugas. Bahkan waktu itu, aku ingat, seisi kelas sepuluh pernah kesal dengan Bintang. Karena hanya dia satu-satunya murid yang mengerjakan tugas, sedang murid-murid lain tidak mengerjakannya. Bukan karena tidak ingat, namun karena tugasnya begitu banyak dan harus dengan tulisan tangan.

"Parah banget, Bintang doang yang ngerjain pr."

"Tau, tuh enggak setia kawan banget."

"Pengen banget dapet nilai sendiri."

Itulah yang kudengar saat Bintang mengumpulkan tugasnya seorang diri. Guruku marah, seisi kelas diomeli karena tidak mengerjakan tugas. Kecuali Bintang. Aku menoleh ke arahnya, dari yang kulihat, Bintang tidak terlihat senang. Ekspresinya biasa saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti ia ikut merasakan omelan dari guruku.

Tapi, Kekesalan teman-temanku seolah hanya sesaat saja. Tidak ada yang benar-benar memarahi Bintang karena dianggap tidak setia kawan. Tetap saja, saat ada tugas, mereka mendekati Bintang untuk menyalin tugasnya. Ketika hendak ujian, mereka mendekati Bintang untuk meminta kisi-kisi soal ujian.

Seolah mereka sangat bergantung pada Bintang. Sedikit-sedikit meminta Bintang, sedikit-sedikit mendekati Bintang. Meski aku tidak pernah bicara dengannya saat itu, tapi aku juga pernah merasakaan manfaat dari kehadirannya di kelas. Dari salah satu temanku yang menyalin tugasnya, aku ikut menyalin tugas Bintang dari salinan temanku itu.

Meski tidak secara langsung melihat tulisan Bintang, itu sama saja, kan? Kalu aku itu mencontek tugas yang sudah Bintang kerjakan. Bagaimanapun juga apa yang kutulis, huruf dan angka itu berasal dari huruf dan angka yang sudah Bintang tulis sebelumnya.

Jika teman-teman perempuan di kelas sepuluh banyak yang menyukai Bintang hanya karena sifatnya yang berbeda dengan laki-laki lain di kelas, aku sempat berpikir. Bagaimana jika mereka juga diperlakukan sama sebagaimana Bintang memperlakukanku? Aku rasa, bisa jadi, mereka tergila-gila dengan Bintang. Bintang yang tampan, Bintang yang wawasannya luas, dan Bintang yang begitu peduli denganku.

"Kita makan di restoran itu aja, ya?" Tanya Abas di dalam mobil. Namun aku tidak terlalu mendengarnya karena sibuk memikirkan hal-hal manis yang Bintang lakukan kepadaku.

"La?" Bintang menggoyang-goyangkan tanganku.

"Iya?"

"Kita makan di situ." Katanya sambil menunjuk restoran di pinggir jalan.

"Oh yaudah." Kataku sebelum akhirnya mobil memasuki area parkir restoran.

--

Ditunggu yaaa bab selanjutnya! Terima kasihhh

D

Rindu Senin PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang