Support cerita saya dengan vote, comment, dan follow yaa. follow juga instagram saya: Rizardila
Terima Kasih.
--
Saat pelajaran olahraga. Biasanya, setelah pelajaran selesai, murid laki-laki menghabiskan waktu untuk bermain futsal. Dan murid perempuan segera pergi ke kelas untuk mengambil baju kemudian ganti baju di toilet perempuan, atau terkadang ada beberapa yang pergi jajan ke kantin. Kali ini, sebelum ke kelas, aku pergi ke kantin sendirian.
Kondisi kantinku ada di ujung sekolah, dari kantin, aku bisa melihat ke arah lapangan. Aku membeli beberapa gorengan, dan air mineral. Lalu duduk di kursi kantin menonton teman-teman sekelasku bermain futsal.
Namun, belum lama pertandingan berlangsung, beberapa di antara mereka seperti kesal dengan Abas. Ia tidak bisa mendengar, dipanggil tidak menoleh, mereka tidak mau bermain dengan Abas. Lalu Abas terpaksa ke luar lapangan dan duduk di pinggir. Aku melihat Bintang tiba-tiba ikut keluar lapangan dan duduk bersama Abas.
Anak-anak yang lain melanjutkan bermain futsal. Tanpa Abas. Tanpa Bintang. Aku membawa gorenganku, dan air mineralku, lalu berjalan mendekati mereka berdua.
"Kok enggak ikut main?" Tanyaku saat sudah dekat dengan mereka. Lalu aku duduk di samping Bintang yang memandangku saat aku datang.
"Mereka enggak mau main bareng Abas. Katanya ribet, Abas kaya main sendirian doang, enggak bisa dipanggil." Jawabnya. Aku menatap Abas yang sedang menonton teman-temannya bermain futsal.
Aku menepuk pundaknya. "Alat bantu dengarnya pake aja."
"Enggak mau." Jawabnya singkat. Ia lanjut menonton futsal.
"Terus, lu kenapa enggak main juga?"
"Males lah gue, temen gue enggak boleh main. Masa gue tetep main? Makan temen itu namanya."
Sebenarnya aku sedikit terkejut mengetahui Bintang begitu peduli dengan Abas. Aku kira sikapnya yang terlihat cuek, membuatnya tidak peduli dengan teman-temannya. Namun aku salah, ia peduli dengan Abas. Ia juga bisa dibilang peduli denganku saat memberikanku tugas miliknya untuk kusalin waktu itu.
"Yaudah, mending kita ke kantin." Aku mengajak mereka berdua ke kantin.
Kami berjalan ke kantin bersama-sama, lalu membeli beberapa cemilan di sana. Aku lebih dulu duduk di kursi, lalu disusul oleh mereka berdua. Abas memakan gorengan sambil memandang ke lapangan, menonton teman-temannya bermain futsal.
"Kalo dia pake alat bantu dengarnya, mungkin boleh main bareng, ya, Bi?"
Sambil memakan risol mayo pedas, Bintang mengangguk.
"Sayang banget dia enggak mau pake."
"Dia enggak nyaman kali." Katanya.
"Iya, tapi lu liat tuh. Dia nontonin doang. Kasian banget."
"Iya, kasian. Tapi kita enggak bisa maksain Abas untuk main. Emang bener kok Abas kaya main sendiri, diteriakin enggak nengok."
"Serba salah, ya. Mau main tapi enggak mau pake alat bantu dengarnya."
"Yaudahlah, La. Dia yang enggak mau pake alatnya. Biarin aja, sih."
"Iya-iya, gue cuma kasian, malah lu yang ngomel-ngomel juga."
"Bukannya ngomel, tapi lu cerewet banget dari tadi."
"Iya-iyaa." Balasku ketus karena sebal dengan Bintang. Entahlah. Sebenarnya ia peduli atau tidak dengan Abas. Ia seperti setia terhadap temannya. Jika temannya tidak boleh bermain, ia juga tidak mau bermain. Tapi ketika kubicarakan soal Abas, ia seperti cuek tidak peduli.
Saat sedang duduk di kantin, tiba-tiba datang gerombolan anak kelas sebelas IPS. Kurang lebih ada tujuh orang. Mereka mendekati kami.
"Bukannya olahraga malah makan si Budeg." Kata Juli, salah satu dari gerombolan itu. Mereka tertawa setelahnya. Beberapa anak seenaknya saja mengambil gorengan milik Abas dan memakannya. Abas hanya diam melihat mereka. Aku memandangi mereka, hati ini kesal sekali. Mengapa harus ada manusia sekurang ajar mereka.
Aku mengenal Juli sejak kelas sepuluh. Dia memang dikenal sebagai anak yang nakal. Wajahnya juga sangat garang seperti preman, pantas saja tingkah lakunya sebelas-dua belas dengan pereman.
Bintang juga diam saja. Ia memang tidak diganggu, tapi temannya, Abas, sedang diganggu. Mungkin Bintang takut, atau mungkin ia tidak terlalu peduli dengan perilaku mereka. Entahlah, yang jelas kini aku merasa risih dengan kehadiran mereka.
"Bagi duit, dong. Gue laper." Kata Juli pada Abas.
Abas mengambil uang di sakunya, dan memberikan uang dua ribu pada Juli.
"Dih, apaan nih cuma dua ribu?" Ia menarik saku baju Abas, dan mengambil uang di dalamnya. Lima ribu rupiah.
"Nah ini, makasih ya." Kata Juli sebelum akhirnya ia dan teman-temannya meninggalkan kami. Bisa-bisanya ia mengucapkan terima kasih setelah memalak orang.
Wajah Abas memelas. Aku yakin sekali ia tidak nyaman dengan perilaku Juli. Wajah Bintang juga berubah. Kali ini ia melihat secara langsung apa yang dilakukan Juli. Benar-benar kurang ajar.
Saat Juli dan teman-temannya jajan, aku memutuskan untuk mengajak Abas dan Bintang pergi ke kelas. Untungnya mereka menuruti keinginanku.
"Kurang ajar banget kan, Bi?" Tanyaku saat berjalan melewati lorong sekolah.
"Iya." Katanya singkat.
"Orang kok kaya enggak dikasih jajan sama orang tuanya. Masih minta-minta sama siswa lain." Kataku kesal. "Amit-amit dah."
"Dari dulu gue perhatiin, Juli emang sok jagoan." Kata Bintang.
"Iya emang!" Jawabku kesal.
Bintang memang tidak membantu apa-apa saat Abas dipalak tadi, tapi aku juga tidak menuntut apa-apa pada Bintang. Bagaimanapun juga itu masalah Abas, bukan Bintang. Kalau Bintang tidak bisa membantu, ya tidak ada juga yang perlu dengan terpaksa membantu Abas.
Sesampainya di kelas, kami duduk di kursi masing-masing. Abas duduk menghadap kami.
"Kalo ada yang minta uang, jangan dikasih." Kata Bintang pada Abas.
"Gue takut."
"Jangan takut. Lu kan laki-laki."
"Kalo enggak di kasih, mereka marah-marah." Balasnya.
"Biarin aja. Kalo mereka marah, lu harus lawan."
Aku terdiam mendegar percakapan mereka.
"Iya deh, besok enggak gue kasih."
"Iya, kalo lu kasih terus, nanti jadi kebiasaan. Lu harus tegas, Bas." Abas hanya mengangguk. Lalu mereka pergi ke toilet pria untuk ganti baju, aku juga pergi ke toilet perempuan untuk mengganti baju olahragaku.
Aku memikirkan Abas, memikirkan hidupnya. Entahlah. Dunia itu adil atau tidak. Kali ini aku merasa tidak adil. Abas merasa tidak nyaman sekolah di sekolah yang sebelumnya. Dan kini, ia merasakan hal serupa. Ia tidak nyaman untuk bersekolah. Namun, ia tetap harus sekolah. Aku, Bintang, Fajar, dan Nur tidak merasakan apa yang Abas rasakan. Ia memiliki kekurangan, dan ia diganggu oleh orang-orang kurang ajar di sekolah. Dunia terasa tidak adil, namun aku tidak bisa memastikannya. Aku percaya bahwa Tuhan itu pasti adil. Hanya saja perasaanku kini berbeda.
--

KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Senin Pagi
RomanceKisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Kisahku, perempuan bodoh yang terpaksa duduk sebangku dengan laki-laki pintar yang menyebalkan. -- Aku mencarinya di dalam tas, semua isi tas kukeluarkan dan kuletakkan di atas meja. Namun tetap tidak ada. Ak...