Rindu Senin Pagi | 21

255 25 3
                                    

Abas pamit untuk pulang lebih dulu, ia masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan aku masih berjalan menuju parkiran motor bersama Bintang.

"Siapa, Bi?" Aku nanya pada Bintang.

"Yang tadi?" Tanyanya. Aku mengangguk. "Itu yang duduk sebangku sama gue pas ujian akhir semester."

"Kok kaya akrab banget?"

"Enggak ah, biasa aja."

"Biasanya lu jarang ngobrol sama cewek."

"Gue juga enggak tau. Padahal selama ujian akhir semester gue enggak ngobrol. Gue cuma merhatiin doang dia kok ngerjainnya cepet banget. Belum setengah jam lembar jawabannya udah penuh. Pernah, sih gue ngomong sekali, waktu itu gue minjem rautan."

"Kayanya dia suka sama lu."

"Hahahaha." Bintang tertawa.

"Dih malah ketawa."

"Gimana enggak ketawa, lu ada-ada aja. Gue kan bilang sebelumnya enggak pernah ngobrol. Mana mungkin dia bisa tiba-tiba suka sama gue."

"Bisa ajaa, Bi. Kita enggak pernah tau gimana perasaan orang. Cuma dia dan Tuhannya yang tau."

"Ih? Tua lu!." Balasnya ketus. "Udah ah, ayo pulang." Bintang menyodorkan helm padaku. Aku mengambilnya lalu memakainya. Setelah Bintang siap, aku segera duduk di belakangnya, dan berjalan menuju rumahku.

"Dia manis, Bi. Kerudungan lagi." Kataku.

Bintang mengatur kaca spion motornya agar bisa melihat wajahku. "Pantesan gue sering liat dia disemutin."

"Gue serius!"

"Gue duarius!"

"Iyaa, entah kenapa setiap gue ngeliat cewek kerudungan pake kacamata, ngerasanya dia manis gitu. Apalagi kalo senyum."

"Lu tau, enggak, La? Gue aja duduk lima hari sama dia, sama sekali enggak pernah merhatiin dia, apalagi merhatiin senyumnya."

"Makanya jadi orang jangan cuek-cuek banget."

"Siapa yang cuek, sih, La? Enggak."

"Dih, enggak sadar diri."

"Gue emang begini. Bukannya cuek, cuma emang males aja ngobrol sama orang yang enggak terlalu deket. Apalagi kalo ngobrolnya ngebahas hal-hal enggak penting."

"Kalo cewek suka sama cowok, ngobrolin apa aja, terasa penting, Bi. Gue rasa ngobrolin apa aja, bagi dia, Penting."

"Ah gatau ah."

"Namanya siapa?"

"Chairun Nisa."

"Panggilannya Nisa?"

"Sunarto." Balasnya cepat. "Ya Nisa, lah!"

"Hahaha." Aku tertawa. "Aneh banget kalo dipanggilnya Sunarto."

"Hahaha." Bintang juga tertawa.

--

Setelah beberapa hari menikmati liburan sekolah, akhirnya Abas meneleponku, dia bilang, dua hari lagi, kita berangkat ke puncak. Dia juga bilang untuk enggak usah bawa barang terlalu banyak. Cukup bawa baju ganti aja. Untuk cemilan dan makanan, bisa di beli di sana.

Sebelumnya, aku sudah bicara, bahwa aku mau mengajak satu orang temanku, Nur. Aku tidak enak jika pergi ke puncak sebagai satu-satunya perempuan. Orang tuaku juga bisa jadi tidak mengizinkanku untuk pergi dengan Bintang dan Abas. Untungnya setelah sedikit memaksa, Nur mau ikut aku ke puncak, dan Abas juga setuju jika Nur ikut.

Rindu Senin PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang