Rindu Senin Pagi | 10

274 29 1
                                    

Bintang bilang beberapa bagian tubuhnya terasa nyeri. Ia merasakannya di sekitar wajah, lengan, dan punggungnya. Aku menyuruhnya untuk pulang dengan alasan sakit. Namun ia menolaknya. Ia masih ingin di sekolah, menyelesaikan pelajaran-pelajaran hari ini.

"Emangnya kalo izin pulang kenapa, sih, Bi? Namanya orang sakit, wajar kalo enggak sekolah."

"Dari dulu gue enggak pernah bolos sekolah. Walaupun gue lagi sakit, bokap gue tetep nyuruh gue sekolah. Masa cuma gara-gara abis berantem, gue izin pulang?"

"Kalo gue, sih. Sakit sedikit, libur."

"Terus hasilnya apa?" Ia menatapku.

"Hehehe, jadi bego." Aku cengar-cengir menjawab pertanyaannya. Sebenarnya pertanyaanya cukup menyakitkan perasaanku namun kenyataannya seperti itu. Yang membuatku tidak memahami pelajaran di sekolah adalah kemalasanku sendiri. Malas mendengarkan guru, malas membaca, malas belajar, dan kadang malas berangkat ke sekolah.

"Gue enggak tau penting apa enggak untuk paham semua pelajaran di sekolah. Gue juga enggak tau bermanfaat apa enggak ilmu di sekolah untuk kehidupan selanjutnya. Tapi, yang gue tau, orang yang pinter bakalan lebih dihargai orang lain."

"iyaaa deh, yang pinteeer." Ketusku.

"Bukan maksud sombong, cuma gue harap lu mau lebih sering belajar aja, La." Ia tersenyum.

Aku tidak menjawab perkataannya. Aku tidak terlalu senang dengan harapannya. Dari dulu aku ini memang malas belajar. Rasanya, sulit sekali memahami pelajaran-pelajaran seperti fisika, biologi, kimia, dan teman-temannya.

Kami mengikuti kegiatan belajar mengajar hari itu sampai waktu pulang sekolah. Setelah bel pulang berbunyi, aku mengikuti Bintang berjalan menuju parkiran motor. Jaga-jaga, takut ia tiba-tiba didatangi lagi oleh Juli dan teman-temannya. Jika hal itu terjadi, aku bisa membantu memisahkan mereka dengan cara teriak. Mungkin saja siswa-siswa lain akan datang untuk memisahkan. Atau mungkin, guru-guru ikut datang.

"Lu ngapain, sih, ngikutin gue?!" Bintang berhenti melangkah di lorong sekolah, ia menghadap belakang, menatapku dan bertanya dengan ketus.

"Siapa yang ngikutin? Gue juga mau lewat sini, emangnya ada yang larang?"

Bintang terdiam, ia mengernyitkan dahinya. Lalu berjalan lagi meninggalkanku. Aku terus mengikutinya sampai parkiran motor. Bintang memakai helmnya, dan duduk di atas sepeda motornya.

"Lu tuh jalan kaki. Ngapain ke parkiran motor? Kaki lu parkir di sini?" Katanya tanpa menatapku.

Aku terdiam mencari alasan, lalu dengan sedikit gugup aku bilang: "Gue nyari Fajar."

"Oh Fajar?" Bintang menoleh. "Pacar lu?"

Pertanyaannya membuatku sedikit terkejut. "Eh, enggak, kok."

"Hahaha. Gue kira pacar lu."

"Ya belum, sih. Eh, enggak tau, deh." Jawabku sedikit gugup.

"Yaudah, gue duluan." Ia melambaikan tangannya padaku sebelum akhirnya menjalankan sepeda motornya. Untungnya aku tidak melihat kedatangan Juli Sampai Bintang pulang mengendarai sepeda motornya.

--

Di rumah, saat sedang merebahkan tubuhku di kasur, aku memikirkan lagi kejadian di sekolah siang tadi. Perkelahian antara Juli dan Bintang, juga Abas. Kalau dipikir-pikir. Bintang berani juga melawan Juli. Padahal Juli itu terlihat menyeramkan, dari tampangnya saja sudah menyeramkan. Gayanya juga seperti preman. Pantas saja banyak yang takut dengannya, dan tidak ada satupun orang yang mencegah kelakuan Juli.

Dulu, waktu kelas sepuluh. Aku pernah melihat Juli berkelahi dengan salah satu temannya di sudut kelas. Arya namanya. Entah apa masalahnya, aku pernah melihatnya memukuli Arya sampai gigi bagian depannya copot satu. Sejak melihat itu, aku enggan untuk dekat-dekat dengan Juli. Jika bertemu dengannya di kantin atau dimanapun, aku tidak mau berlama-lama di tempat itu.

Bintang yang lebih banyak diam dan terlihat tidak peduli dengan keadaan sekitar, siang tadi akhirnya bersuara. Ia melawan apa yang dilakukan Juli terhadap Abas. Aku tahu, apa yang dilakukannya adalah bentuk tanggung jawabnya karena meminta Abas untuk tidak memberikan uangnya lagi pada Juli.

Aku benar-benar terkejut saat ia mulai membantu Abas. Rasanya, orang ini hebat sekali. Hanya dia satu-satunya siswa laki-laki yang peduli dengan apa yang dilakukan Juli terhadap Abas. Padahal, masih banyak murid laki-laki di sekolah ini. Tapi, mereka seolah tidak punya nyali untuk membantu Abas. Hanya satu, yaitu Bintang.

Aku bangkit dari tidurku, mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja. Lalu menelepon Bintang.

"Halo, Assalamu'alaikum." Terdengar suaranya di sebrang sana.

"Wa'alaikumussalam." Balasku.

"Kenapa, La?"

"Gapapa, mau nanya aja, gimana kondisi lu?"

"Serius? Nelepon cuma mau nanya itu doang?"

"Ya serius. Emang kenapa?"

"La, baru tiga jam yang lalu kita ketemu. Lu udah tau badan gue sakit-sakit. Masa masih nanya kondisi gue?!" Balasnya ketus.

"Ya biasa aja, dong. Gue kan cuma naya. Siapa tau sampe rumah kondisinya beda. Siapa tau di rumah diomelin sama nyokap-bokap lu. Gue kan cuma nanya." Balasku sedikit emosi.

"Ya sama aja, ini udah dikompres sama nyokap gue. Dia enggak ngomel, malah bangga sama gue. Hal biasa laki-laki berantem."

"Terus apa katanya?"

"Gitu, dong anak ibu berantem. Sering-sering, ya? Gitu katanya."

"Serius?" Tanyaku heran. Aneh sekali Ibunya. Baru kali ini aku tahu ada seorang ibu yang senang jika anaknya bertengkar. Menurutku, enggak ada yang bisa dibanggakan dari seorang anak yang gemar bertengkar. Itu hal memalukan. Terkecuali yang dilakukan Bintang siang tadi. Dia bertengkar bukan karena emang dia yang senang membuat keributan, ia bertengkar untuk membantu temanku, Abas yang hampir setiap hari diganggu oleh Juli.

"Ya enggak lah."

"Hih!" Aku kesal.

"Dia ngomel tapi dikit doang, katanya jangan suka cari masalah. Gitu doang. Paling yang ribet abang gue. Pake sok-sok-an nanya-in siapa yang mukulin gue lah."

"Hahaha. Wajar dong kalo dia nanya kaya gitu, kan dia abang lu."

"Iya, tapi ini urusan gue, gue enggak mau dia ikut campur." Katanya pelan.

"Lagi gimana sih, kok bisa lu tiba-tiba bantuin Abas? Kan lu sendiri yang bilang jangan ikut campur kalo enggak mau diganggu."

"Gila, ya? Temen kita dipukulin di depan mata kita sampe nangis-nangis. Masa iya gue diem aja?"

"Iya, sih. Tapi emang lu ga takut besok-besok lu digangguin mereka?"

"Gue udah pernah bilang, kan, la? Gue laki-laki. Enggak ada yang harus ditakutin. Kecuali Tuhan, mungkin." Katanya tegas.

Aku hanya terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Yang jelas, saat mendengar ia bicara seperti itu. Aku merasa senang berteman dengannya. Dia laki-laki yang bertanggun jawab, laki-laki yang peduli akan temannya, dan dia laki-laki pemberani.

"Gue kira, lu nelepon, mau nanyain pr fisika." Bintang memecah hening.

"Emang ada pr?"

"Astaga, La?!"

"Ya maaf. Gue enggak tau... Pr-nya banyak enggak?"

"Sedikit doang, sih."

"Yaudah besok pagi gue liat, ya?"

"Kebiasaan."

"Hahaha." Aku hanya tertawa mendengarnya.

--

--

Terima kasih sudah membaca cerita saya :) Support tulisan saya dengan vote, dan follow ya. Follow juga instagram saya: Rizardila.

Terima kasih :)

Rindu Senin PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang