Prolog: Emotionless Feeling

14.7K 1K 119
                                    

Selamat datang di project baru saya haha. 

Btw, sebelum membaca, minta votes dan commentsnya, bcs it very precious for me.. 

Selamat membaca :)

.

.

.

Hidup di kota metropolitan, tidak akan pernah terasa membosankan.

Tidak, sampai kau beranjak dewasa.

Orang-orang sering berkata, masa muda terasa begitu membahagiakan karena kita memiliki banyak mimpi untuk diraih. Menikmati proses itu, dengan semangat berapi-api fokus untuk mengejar target hidup sukses, sesuatu yang dirasa bisa menjamin masa depan sendiri akan bahagia.

Berandai-andai, jika aku menjadi ini ... aku akan bahagia.

Jika aku kaya raya dan punya banyak uang, aku akan bahagia ...

Nyatanya? Omong kosong.

Dunia tidak pernah serasa sesepi ini.

Bakugou Katsuki, 27 tahun. Punya banyak uang ... iya, kaya raya ... iya, punya perusahaan sendiri pula. Bahkan, proyek besar dimana-mana.

Bahagia? Tidak juga. Resiko mati muda, tentu saja sudah pasti.

Tekanannya begitu besar.

Bakugou Katsuki bisa menjamin  100%, bahwa semua yang ia harapkan dulu telah tercapai sekarang. Akan tetapi, seluruhnya terasa kosong.

Menempuh S2 di Todai–seperti cita-cita yang diperebutkan banyak orang–juga terasa biasa saja. Bahkan, bergelut di bidang yang ia sendiri banggakan dulu, dan sudah membayangkan akan jadi seperti pahlawan yang mengalahkan semua pecundang sekarang semua terasa ... mati rasa.

Hidupnya terasa sunyi.

Ibu Katsuki selalu meneriakinya melalui telepon, dan membuat pria itu pusing saat sedang lembur dengan ocehan seperti, kapan kau menikah? Kau tidak bosan melajang terus?

Omelan yang paling buruk adalah, Anak sialan, kau tidak impoten kan? Makanya kau malu menikah? Jujur pada ibumu!

Hingga berakhir menjadi perang dingin dua minggu kemudian, karena Bakugou terlalu malas meladeni orang tua sendiri. Dalam hati ia hanya bisa mengumpat, ternyata mengirimi banyak uang tidak cukup untuk menyumpal mulut ibuku.

Sang ibu, selalu saja bisa membuat darah tingginya kambuh apabila sudah membahas tentang keinginan untuk punya cucu serta tetek bengeknya.

Akhir-akhir ini, sejak usianya menginjak 27– Katsuki merasa sudah tidak memiliki emosi lagi. Terlalu malas untuk marah-marah demi meladeni sang ibu yang menyebalkan setengah mati. Paling kalau kesal, ia cuma ingin membakar berkas-berkas kontrak di meja kerja. Tidak lebih dari itu.

Ingin menyendiri, hilang di dalam kesunyian. Merenungi rasa sesal yang entah apa. Katsuki juga sudah sedikit lupa. Lebih tepatnya ... berusaha melupakan.

Hari ini Katsuki mengambil cuti, mengabaikan sang sekretaris yang sibuk mengomel karena pekerjaan yang tak karuan adanya. Pria itu tidak peduli.

Bakugou Katsuki berjalan kaki sendiri, menikmati suasana trotoar pejalan kaki yang terasa begitu ramai di sore hari begini. Ia kemudian merasa haus, dan berujung mengunjungi vending machine terdekat hanya untuk membeli minuman.

"Paman ... " Bakugou Katsuki yang sibuk bermain ponsel sambil menunggu minuman di vending machine untuk keluar pun terperanjat. Ia mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Merasa ada yang berusaha memanggil, tapi ketika pria itu menoleh ke kanan kiri, tidak ada siapapun di sana.

If We [Bakudeku/Tododeku] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang