Hai, sebenarnya aku lagi mengclaim masa hiatus krn banyak hal. Kebetulan aku sedang mood, aku mencoba update book ini sebaik yang aku bisa.
Pesan : Tahan emosi ya :)
Selamat membaca!
.
.
.
"Deku-kun?"
Malam itu Midoriya Izuku tak pulang ke rumahnya.
Uraraka Ochako sedikit terkejut, kala melihat kondisi sang sahabat–yang nampak sedang kacau–berdiri bak orang hilang di depan pintu rumahnya. Apalagi, ia dapat melihat dengan jelas dua mata sembab itu. Bohong kalau dia tak khawatir. "A-apa yang terjadi? Astaga ... Masuklah dulu," ajak Uraraka kemudian.
Sudah tak bisa dijelaskan lagi, bagaimana raut wajah Midoriya sekarang. Izuku merasa kedua mata mulai buram, dan hatinya terlalu sakit–sampai-sampai tak ada air mata lagi yang bisa keluar. Sebab lidahnya pahit, serta seluruh badan yang kedinginan–membuat pemuda tersebut sejak tadi menunjukkan gestur aneh seolah memeluk tubuh sendiri.
Meski sadar ... memang cukup bodoh untuk datang ke rumah orang lain malam-malam seperti manusia sinting begini, tapi Izuku tak tahu harus ke mana. Karena, tidak mungkin jika ia datang ke tempat Todoroki.
Uraraka membawakan selimut yang dia punya, kemudian memakaikannya pada sang teman. Lalu, gadis itu membawa Izuku duduk di karpet bulu ruang tengah. "Deku-kun, mau minum sesuatu?"
Midoriya menggeleng.
"Ja, kalau begitu mau makan sesuatu?" tawar Ochako untuk yang kedua kali.
Lagi-lagi Midoriya menggeleng.
Uraraka Ochako yang paling tahu ... kalau Izuku sedang banyak pikiran pasti pemuda itu akan lebih memilih untuk diam, melamun, dan tak ingin menyantap apa pun–karena nafsu makan saja sudah hilang. Sebenarnya, gadis itu tak ingin bertanya. Namun, melihat sang teman nampak berantakan begini–tanpa tahu apa-apa–juga cukup membuat Ochako merasa tidak nyaman.
"Deku-kun, apa kau ada masalah? Kau bisa cerita padaku," ucap Uraraka, berusaha hati-hati.
Karena mendengar nada iba yang terlontar dari mulut Uraraka itu, membuat Izuku jadi tersenyum perih. "Maaf, Uraraka-san. Aku selalu datang padamu saat ada masalah. Aku memang manusia yang buruk, ya?"
Ucapan itu langsung membuat Uraraka menggeleng. "Tidak, Deku-kun! Astaga ... kau jangan berpikir seperti itu. Lagipula, itu gunanya teman, kan? Kau bisa mengandalkan temanmu di saat seperti ini, Deku-kun."
Entah mengapa ... setelah mendengar ungkapan tulus dari sang teman, justru semakin merobek luka di hati Izuku. Air mata yang tadinya sudah mengering tiba-tiba keluar lagi. Isakannya lolos, Midoriya Izuku lagi-lagi menangis.
Uraraka mulai panik. "D-deku-kun? Hey, kenapa? Kau bisa cerita semua padaku. Kau tahu, kan?"
Pemuda hijau itu langsung mengusap-usap kedua matanya kasar. Tidak tega, Uraraka lalu menyeret kotak tisu yang tinggal sedikit itu ke depan sang sahabat. Ia mengelus punggung Izuku, membiarkan temannya mengeluarkan semua kesedihan itu–tak peduli sebanyak apa pun–sampai yang bersangkutan merasa lebih baik.
"Uraraka-san, Kacchan membenciku ..." Midoriya Izuku lalu menceritakan semuanya, tanpa meninggalkan satu detil pun. Ia tak bisa berhenti bergetar.
Uraraka sebisa mungkin menenangkan temannya, walau sedang mati-matian menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa marah ketika mendengar semua itu. Sampai di akhir cerita, Uraraka menawarkan teh hangat agar Izuku bisa bernapas lebih baik. Di tengah-tengah sesi minum itu, gadis bersurai coklat itu pun berkata, "Ne, Deku-kun. Aku mau bertanya, mungkin aku tidak pantas menanyakan ini. Tapi, apa kau tidak mau mempertimbangkan pilihan untuk putus dengannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
If We [Bakudeku/Tododeku] End
Fanfiction(WARNING : MPREG! Jika tidak suka genre seperti ini, tolong jangan kunjungi lapak book saya. Sekian.) Ini adalah kisah, tentang Midoriya Izuku yang mencintai seorang Bakugou Katsuki. Cerita mengenai rasa sayang Izuku, juga sakit yang didapat ketika...