Part 4 : Our Let it be

4.7K 662 162
                                    

Sebelumnya, minta vote dan commentnya teman-teman biar saya semangat nulis hehe... 

Selamat Membaca...

.

.

.

"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda berambut belang itu, dengan hati-hati.

Kalau boleh jujur, ia jadi merasa bersalah karena tiba-tiba datang–tanpa diundang–dan malah ikut campur ke masalah orang. Akan tetapi, sudah menjadi kebiasaan–bahkan kewajiban–baginya untuk menolong manusia lain yang sedang butuh bantuan. Setidaknya, itu yang dia pikirkan.

Melihat sosok rapuh itu di sisinya sekarang–walau tak saling kenal, entah mengapa menimbulkan suatu hal yang lain. Ya, sesuatu yang lain—yakni dorong untuk mendekap bocah berambut hijau itu seerat mungkin, agar lebih tenang. Namun, dia masih cukup sadar diri. Pasti, anak itu menganggap dia cuma sekadar sosok asing–yang sok jadi pahlawan kesiangan dengan tiba-tiba muncul, bahkan tanpa diminta yang bersangkutan.

Midoriya Izuku mencengkram kedua lengan sendiri dengan erat, masih menangis sejak tadi. Sehingga, orang-orang jadi menatap heran dengan pandangan—mengapa ada anak SMP yang keliaran di jam-jam segini? Bahkan, tas sekolah saja lupa tak dibawa. Pikiran anak itu sudah berantakan, penglihatannya juga mulai buram. Andai saja pemuda asing ini tak muncul–untuk membantu serta menuntunnya berjalan sejak tadi, mungkin Izuku sudah pingsan. Tidak tertolong.

Namun Izuku cuma diam, belum memberi respon apa-apa.

Alih-alih menuntut jawaban, sosok yang menolong Midoriya tadi justru melepaskan jaketnya sendiri tanpa diminta. Lantas, diletakkannya pada pundak Izuku yang bergetar.

Orang itu memutuskan untuk membawa Izuku menuju taman terdekat, menuntun ke arah tempat duduk yang tersedia. Sebab tidak tega rasanya, jika harus melihat orang yang tengah menangis dan kacau begini harus berjalan lemas sendirian. Takut-takut saja kalau pingsan di tengah jalan.

Hatinya ikut merasa sakit, entah kenapa. Seakan kesedihan yang ditolong menular, seperti virus.

"Ano ... mungkin terdengar aneh, karena aku tiba-tiba menarikmu tanpa mengenalkan diri. Maaf ..."

Izuku masih menunduk, termenung. Tidak merespon.

"Namaku Todoroki Shouto." Ia pun memperkenalkan diri. "Kalau kau? Siapa namamu?" Tanya Todoroki kemudian, dengan suara selembut mungkin.

Sementara itu, sang lawan bicara masih diam. Hal ini justru membuat Todoroki merasa bersalah–berkali-kali lipat. Dengan nelangsa ia berpikir, mungkin orang ini mengira aku manusia tidak jelas. Sudah tiba-tiba muncul, mengajak kabur, lalu bisa-bisanya masih sempat mengajak kenalan di saat sedang shock begini. Ia jadi malu, rasanya mau mengubur diri saja.

"A-Ah, lupakan saja!" Todoroki memandang langit sambil menggaruk kepala, berusaha mengalihkan perhatian. "Lagipula tidak penting juga ..." ucapnya sambil tertawa garing, sebab merasa canggung sendiri.

Pemuda itu diam, tak ingin mengganggu lebih jauh orang yang sedang berusaha menenangkan diri. Namun, niat baiknya jadi tertunda saat sang lawan bicara malah menjawab, "Midoriya ..."

"Eh?" Mata–dengan luka besar di sebelah kiri itu–mengerdip bingung.

"Midoriya Izuku," ucapnya. Meski terdengar serak dan bergetar, tapi Izuku berusaha sekuat mungkin untuk menstabilkan emosi dan pikiran sendiri. Ia pun menoleh. "Terimakasih, ya ... karena telah menolongku. Aku malah jadi beban begini," seru Izuku. Bersamaan dengan senyum paksa, yang dipasang untuk menutupi keadaannya yang hancur.

If We [Bakudeku/Tododeku] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang