Udara malam terasa begitu menusuk sampai ke tulang-tulang. Apalagi hujan baru saja berhenti setengah jam yang lalu. Suasana dingin pun kian terasa saaat angin dengan santainya berhembus dengan kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Agam baru saja pulang bekerja dari restoran.
Pakaian Agam sudah berganti dengan kaus lengan pendek berwarna hitam yang terlihat lusuh. Celana trening hitam yang juga sama lusuhnya. Memang saat bekerja Agam akan mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumah.
Awalnya Agam ragu akan memakai pakaian rumah walau tugasnya hanya sebagai tukang cuci piring saja. Yang berarti bekerja dibelakang dan tidak akan keluar dari dapur. Yang membuatnya ragu adalah pakainnya yang lusuh, Agam takut akan membuat mereka risih pada Agam. Namun, dengan baik hatinya Ibu Herna mengizinkan dan terkadang membelikan Agam beberapa kaus dan celana baru.
Agam memang menerimanya walau terkadang merasa tidak enak hati. Tapi, Agam tidak akan memakai pakaian bagus itu untuk bekerja. Terlalu bagus, lebih baik disimpan untuk pergi atau acara dadakan bila diperlukan.
Agam mengusap lengannya saat hawa dingin kian semakin terasa. Kakinya terus berjalan menapaki jalanan yang terlihat sepi. Disaat seperti ini Agam merindukan orang tua juga kakaknya. Ingin merasakan berkumpul bersama diruang tengah dipenuhi canda tawa nyatanya mampu membuat Agam meneteskan air mata.
Tidak ada kesempatan lagi untuknya merasakan itu. Agam tidak pernah menemukan kehangat barang seciul pun dirumah. Tapi setidaknya ia bersyukur karena kakaknya berada di tengah-tengah keluarga yang saling menyayangi. Kakaknya tidak perlu merasakan sakit sepertinya.
Dan setidaknya kakaknya berada di tempat yang tepat. Urusan Agam belakangan. Semenjak salah satu kakinya di amputasi percayalah bahwa Agam tidak baik-baik saja. Anak mana yang mau hidup dengan anggota tubuh yang tidak lengkap? Tidak ada.
Namun Agam berusaha ceria dan menarik perhatian kakaknya agar mau bermain dengannya. Nyatanya kakaknya enggan. Setelahnya memilih pergi dengan keluarga baru tanpa Agam. Agam tidak tau harus mengadu kemana. Yang Agam tau sekarang ia dan kakaknya berbeda. Mereka memang saudara kandung. Tapi hidup mereka kini jelas berbeda. Agam sudah tidak mengharapkan apapun lagi selain kehadiran kakaknya. Itu saja.
"Assalamualaikum," ucap Agam sesaat setelah membuka pintu sebuah rumah kecil namun terlihat rapi.
Agam pun masuk dan melihat Ayah angkatnya, Edgar tengah duduk sambil menonton televisi di ruang tengah. Agam pun berusaha menampilkam senyum hangatnya.
"Ayah," panggil Agam pelan saat sudah berada tepat di dekat Ayah. Tidak ada jawaban. Namun, Agam tidak akan menyerah.
"Ayah, uda makan atau belum?" tanya Agam lagi.
Kali ini dengusan tak suka menjawab pertanyaan Agam. Pria paruh baya itu pun mengalihkan tatapan dari televisi tepat kearah Agam.
"Bisa tidak kamu itu diam saja?! Merusak acara nonton saya saja! Uda sana pergi!" bentak Ayah seraya melempar remot televisi kearah Agam.
Agam yang terkejut pun lantas matanya berkaca-kaca. Bukan ini yang ia mau saat sampai dirumah. Ia butuh sambutan hangat. Bukan caci atau bentakan.
"Tunggu apalagi?! Pergi!" teriak Ayah yang kemudian melempar Agam dengan sandal jepitnya.
"Agam permisi ke dapur, Yah," ujar Agam pelan lalu melangkah dengam bantuan tongkatnya menuju dapur.
"Heh tunggu!" sentak Ayah yang otomatis membuat Agam terhenti.
"I-iya yah?" tanya Agam kikuk.
"Mana uang kamu? Sini kasih ke saya!" sentak Ayah yang membuat Agam gemetar.
"A-gam engga punya uang, Yah," ujar Agam pelan seraya menunduk takut.
Ayah berdecak kesal. Lantas pria paruh baya itu berdiri kemudian menghampiri Agam yang masih menunduk.
"Serahkan sekarang atau saya usir kamu dari sini!" bentak Ayah murka.
Agam menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Kalau ia di usir siapa yang akan mengurus segala keperluan Ayah? Dan dimana Agam tinggal jika tidak dirumah ini?
"Dasar sialan!" decak Ayah yang langsung menarik tas sekolah Agam dengan kasar. Membuat Agam hampir saja jatuh jika tak sigap menjaga keseimbangan.
Kemudian dengan tega Ayah menuangkan semua isinya hingga berhamburan di lantai. Sampai sebuah dompet coklat jatuh dan detik itu juga Agam langsung mengambilnya.
"Serahkan dompet itu!"
Agam menggeleng dengan keras. Hanya uang ini yang ia punya. Ini saja tidak cukup untuk kebutuham sehari-hari, bagaimana lagi kalau semuanya diambil?
Plak
Kepala Agam otomatis tertoleh ke kanan saat tangan besar Ayah menampar pipi kirinya. Detik itu juga dompet yang Agam pegang sudah berpindah tangan.
"A-ayah Agam mohon jangan ambil uang itu. Itu buat makan sama kebutuhan lain, Yah," lirih Agam seraya menatap manik Ayah. Sementara Ayah mendengus kesal. Amarah masih menguasai dirinya saat ini.
"Kamu kira saya peduli soal makan atau segala hal yang berkaitan dengan dirimu? Hei, jangan mimpi! Mau kamu tidak makan juga saya tidak peduli. Yang kamu harus tau itu, kamu numpang disini. Jadi, ini saya anggap sebagai bayarannya," cerca Ayah dengan pedas.
Hal itu tentu saja berhasil membuat air mata Agam menetes. Agam menunduk dengan pundak yang bergetar. Kenapa kehadirannya tidak pernah diterima dimanapun? Apa ia seburuk dan sehina itu? Apa karma kondisinya yang tidaklah sempurna?
"Ingat siapa kmau disini! Sadar diri akan posisimu di sini!"
Setelah mengatakn itu Ayah pun langsung pergi keluar rumah. Yang sudah Agam pastikan tidak akan pulang malam ini. Dada Agam terasa sesak karena menahan isakan sedari tadi. Maka dari itu kini terdengarlah isakan penuh pilu dari mulut Agam.
Membuat rumah yang tadinya hening kini dipenuhi suara isakan Agam. Lagi-lagi Agam sendiri. Tidak ada tempat pulang yang tepat dan hangat. Tidak ada yang menyambutnya di depan pintu dengan raut cemas. Tidak ada pula yang mau menyayangi Agak dengan tulus.
Agam kira Ayah perlahan akan menganggap Agam seperti putranya sendiri seiring berjalannya waktu.
Namun, ternyata Agam salah. Justru Ayah kian terus menyiksa tanpa mau memikirkan bagaimana kondisi Agam. Agam juga butuh sosok penguat agar Agam tau untuk siapa dia hidup. Dengan perlahan Agam mengayunkan tongkatnya menuju dapur.
Lalu tangan kurusnya pun membuka pintu kulkas dengan pelan. Lagi, Agam tersenyum kecut dengan air mata yang masih mengalir. Tidak ada bahan makanan apapun. Satu butir telur pun tidak ada. Ingin membeli nasi diluar juga Agam tidak punya uang. Semua uangnya sudah habis diambil oleh Ayah.
Kedepannya Agam tidak tau harus menahan lapar berapa lama. Yang pasti gajian masih bulan depan. Dan Agam harus menunggu satu minggu lagi.
"Kakak, Agam lapar hiks. K-akak kapan datang? Gak usah buru-buru hiks. Agam masih b-isa kok nunggu s-ebentar lagi hiks," isak Agam penuh luka.
¤¤¤¤
Selamat membaca😊
Salam manis,
Ans Chaniago
20:53 WIB
24 Januari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAM (End)
Teen FictionAgam itu selalu sendiri. Tidak ada penyemangat atau sosok yang selalu menyemangatinya. Ditengah kesulitan hidup yang pelik, Agam berusaha keras tetap bertahan. Menanti sebuah pelukan hangat dari satu-satunya keluarga yang ia punya. Selain pelukan, A...
