Hari sudah sore dan udara terasa begitu hangat. Sudah sejak dari pulang sekolah, Agam hanya duduk diam di halte.
Memperhatikan orang yang lewat atau menunggu bis. Tak sedikit pun rasa bosan hinggap dalam dirinya.
Agam masih betah duduk walau ia harus menunggu sampai larut sekali pun. Yang penting ia bisa bertemu dengan kakaknya. Itu saja
Bahkan Agam tak segan untuk melempar senyum pada beberapa orang yang lewat. Beberapa membalasnya. Namun, sisanya memberikan Agam tatapan sinis.
Hari ini, tumben sekali mobil yang menjemput kakaknya belum datang. Padahal sebentar lagi kakaknya selesai latihan.
Dan bisanya juga mobil itu sudah terparkir manis didekat gerbang.
Hingga menit terus berlalu sampai akhirnya Agam dalat melihat sekumpulan cowok yang tampak berjalan keluar gerbang dengan seragam basket mereka.
Agam lantas memegang tongkatnya, lalu bersusah payah untuk berdiri.
Netra jernih milik Agam pun melihat kakaknya yang tengah berjalan sendiri lengkap dengan seragam basketnya.
Agam merasa begitu iri dan bersyukur disaat bersamaan. Bersyukur karena kakaknya tumbuh tinggi dengan kulit putih bersih. Iri sebab sejujurnya Agam juga ingin masuk ekskul basket.
Namun, apalah daya. Agam kini memakai tongkat. Yang ada ia hanya akan menyusahkan saja bila ikut ekskul basket.
Lagi pula mana ada ekskul seperti basket yang mau menerima orang seperti Agam. Yang berjalan saja kadang masih sulit.
Agam pun tampak melihat kesekitar jalan. Sepi. Jalanan kini terlihat lenggang.
Maka dari itu Agam segera mengayunkan tongkatnya dengan pelan guna menyebrangi jalanan.
Sampai akhirnya Agam sampai tepat disamping Alex yang masih fokus dengan ponselnya.
Agam tersenyum sendiri saat menyadari tingginya yang hanya sebatas pundak kakaknya. Ah, sepertinya Agam memang kurang gizi.
Apalagi tubuhnya terlihat begitu kurus. Berbeda dengan kakaknya yang terlihat atletis.
Merasa ada orang disampingnya Alex pun menoleh. Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Agam kini berdiri tepat disampingnya sambil memasang senyum.
"Hai kak" sapa Agam dengan ceria.
Alex masih diam. Dirinya kini menatap tajam sosok Agam yang kini masih tersenyum.
"Kakak apa kabar? Kok gak pernah main ke panti trus kok gak pernah lagi datang kesana? Agam gak ada temennya tau kak hehe" ujar Agam panjang lebar disertai dengan cengiran tanpa dosanya.
Alex berdecih sinis. Moodnya terasa hancur seketika. Kenapa ia bisa tidak sadar bahwa Agam sudah disampingnya?
"Trus kalau lo gak punya temen urusannya sama gue apa?" tanya Alex dengan sarkas.
Agam terdiam. Kakaknya benar-benat sudah berubah. Padahal yang Agam inginkan itu agar Alex berkata bahwa kakaknya itu juga merindukannya.
Tanpa sadar Agam tersenyum pedih. Takdir benar-benar begitu kejam padanya.
"Kakak apa kabar? Baik-baik aja kan sama keluarga kakak?" tanya Agam lagi. Berusaha berbicara dengan Alex guna melepas rindu yang bertahun-tahun ia tahan.
Alex tersenyum sinis lantas bersedekap dada.
"Tentu gue sangat baik sekarang. Keluarga gue baik dan gue bahagia disana. Apapun yang gue mau pasti diturutin. Lo tau? Mungkin keputusan gue buat ninggalin lo di panti itu bener. Gue bahagia sekarang. Gak dihantui sama rasa kesel gue karena lo yang uda buat orang tua kita pergi!" tekan Alex tanpa peduli bahwa ucapannya bisa saja menyakiti hati adiknya.
Agam mengulas senyum, namun siapapun tau bahwa itu senyum kepedihan.
"Agam ikut seneng deh kalau kakak bahagia sekarang. Agam juga seneng karena kakak bisa hidup dengan layak" ujar Agam dengan tulus. Namun, dibalik itu Agam berusaha menahan mati-matian air mata yang mendesak ingin keluar.
Alex tersenyum sinis. Entah kenapa melihat adiknya sekarang bukannya senang Alex merasa seperti melihat dirinya di masa lalu.
Melihat bagaimana tanah mulai menimbun tubuh kaku kedua orang tuanya. Alex membenci kehilangan seperti itu. Apalagi dimalam itu Agam terlibat.
Kalau saja Agam tidak merengek pergi mungkin semua tidak serumit ini sekarang.
"Apa yang lo mau?" tanya Alex yang membuat Agam merasa bingung.
"Maksud kakak?" tanya Agam bingung.
"Lo selalu duduk dihalte depan dan nunggu gue pulang. Setelah bertahun-tahun gue gak tau lo hidup sebagai manusia baik atau enggak. Yang gue tau lo punya maksud kan?" tanya Alex yang membuat Agam mematung.
"Lo mau minta berapa? Gue kasih asal lo gak usah muncul lagi didepan gue" ucap Alex dengan santai.
Sementara Agam rasanya sudah ingin menangis saja. Jadi kakaknya mengira ia kesini hanya untuk uang? Agam memang bukan orang kaya, dihina sana-sini sudah terasa biasa.
Namun, mendengar kalimat kakaknya barusan rasanya rindu Agam benar-benar tidak berarti. Agam hanya rindu kakaknya. Satu-satunta keluarga yang ia punya.
"Kak Agam bukan mau itu" lirih Agam menatap manik Alex yang menatap Agam dengan benci.
Agam tertegun sejenak. Dadanya terasa sesak. Tatapan itu berhasil menarik Agam dan menghempaskan Agam kedasar laut terdalam.
Alex tampak merogoh tasnya. Lalu mengeluarkan sebuah dompet dan mengambil beberapa lembar uang dari sana.
Alex kembali menyimpan dompetnya, lalu dengan cepat Alex langsung menarik tangan Agam yang terasa dingin. Meletakkan beberapa lembar uang tadi diatas telapak tangan adiknya.
"Mau lo pakai buat apa duitnya terserah, gue gak peduli. Asal ingat jangan pernah muncul disekitar gue lagi!" peringat Alex yang langsung berbalik hendak pulang dengan menyetop taksi.
"Kakak" lirih Agam. Kini air mata Agam sudah mengalir dengan deras.
Alex membalikkan badannya dan dapat melihat pundak adiknya yang bergetar sambil menatap uang pemberiannya.
"A-gam kesini bukan mau minta uang kakak hiks. Agam cuma pengen meluk kakak aja. A-Agam cuma punya kakak" lirih Agam dengan suara yang bergetar.
Alex merasakan dadanya kini begitu sesak. Dari dulu kelemahan Alex adalah melihat air mata adiknya. Alex dulu begitu menjaga adiknya ini. Tapi lihatlah bahkan sekarang Alex yang membuat adiknya terluka.
Tanpa ingin berlama-lama Alex pun langsung berbalik dan menyetop taksi. Alex tidak menoleh sekali pun pada Agam yang kini memandang sendu kepergiannya.
Semua percakapan tadi masih terekam jelas diingatan Agam. Rasanya begitu sakit saat melihat kakaknya begini.
Menganggap seolah semua bisa selesai dengan uang. Menganggap bahwa hadirnya disinu hanya untuk uang.
Agam memang membutuhkan uang untuk makan dan yang lainnya. Tapi bukan dengan cara kakaknya berbicara sepert itu.
Seakan-akan Agam manusia terburuk didunia. Hadirnya benar-benar tidak berarti apapun.
Dengan pelan Agam mengayunkan tongkatnya setelah memasukkan uang itu kedalam saku celananya.
Air mata Agam tidak berhenti mengalir. Ayunan tongkat Agam terlihat lambat.
Agam masih sibuk dengan kesendiriannya. Masih sibuk dengan lukanya yang entah kepan berakhirnya.
¤¤¤
Selamat membaca😊
Salam manis,
Ans Chaniago
15:15 WIB
30 Maret 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAM (End)
Teen FictionAgam itu selalu sendiri. Tidak ada penyemangat atau sosok yang selalu menyemangatinya. Ditengah kesulitan hidup yang pelik, Agam berusaha keras tetap bertahan. Menanti sebuah pelukan hangat dari satu-satunya keluarga yang ia punya. Selain pelukan, A...
