• 25 •

18.5K 1.6K 170
                                        

Agam terdiam memandang kosong pada jalanan yang padat akan kendaraan dan penuh sesak oleh orang-orang.

Masih tidak tampak binar dimatanya. Pandangan kosong dan hanya diam membisu.

Sudah lebih dari satu jam Agam memandangi rumah mewah itu dari seberang.

Jam sudah menunjukkan pukul satu siang dan Agam masih belum beranjak dari diamnya.

Dengan kedua tongkatnya sebagai penopang diri, salah satu tangan Agam pun menenteng sebuah plastik putih kecil.

Didalamnya terdapat kotak jam murah yang berusaha dibeli Agam dari hasil meminjam uang Mbak Tika kemarin.

Agam kembali memandang rumah didepannya. Lalu Agam menghela nafas sejenak sebelum mulai mengayunkan tongkatnya menuju rumah besar itu.

Pintu gerbangnya memang sedari tadi terbuka. Agam pun dengan ragu mengayunkan tongkatnya menelusuri halaman yang luas.

Sejenak Agam berhenti saat mengingat kejadian dimana dirinya diusir dari dari rumah ini oleh kakaknya sendiri.

Agam menghela nafas lalu kembali menganyunkan tongkatnya dan kini sudah sampai didepan pintu.

Ting tong

Agam menunggu sesaat setelah menekan bel disebelah kiri pintu.

Tak lama kemudian Agam terpaku saat pintu terbuka dan menampilkan sesosok pria paruh baya yang kini menatap Agam dengan tanda tanya.

"Assalamualaikum Om, maaf kalau mengganggu, Kak Alexnya ada Om?" tanya Agam yang membuat pria itu memandang Agam sekali lagi.

Detik itu juga pria itu seolah tersasar akan siapa sosok didepannya ini.

"Agam ya?" tanya pria itu yang diangguki Agam dengan raut bingung.

"Mari masuk" ajak pria itu. Agam menimang sebentar sebelum akhirnya menyetujui ajakan itu.

Kembali lagi Agam menyusuri lorong panjang dan mewah itu. Lalu Agam mengikuti saat mereka berbelok kearah kiri.

Dan Agam semakin takjub saat melihat ruangan besar yang diyakini adalah ruangan santai. Ruangan ini didominasi warna putih. Terdapat televisi, sofa besar, meja, lemari, dan lain sebagainya.

Ayunan tongkat Agam berhenti saat tak sengaja bertatapan dengan manik itu. Bunda kakaknya.

Pria tadi pun berbalik dan menatap Agam sendu.
"Ayo nak, duduk dulu sini"

Agam pun dituntun untum duduk disalah satu sofa dimana terdapat sosok mungil yang Agam yakini bernama Kinan. Adik kakaknya.

"Mas, mau apa dia kesini? Terus kenapa kamu bawa dia masuk kerumah?" tanya Bunda pada suaminya yang kini menatap Agam dengan sendu.

Bagaimana tidak. Wajahnya pucat, pipinya tirus dan tubuhnya begitu kurus. Berbeda sekali dengan putra sulungnya.

Seketika perasaan tak nyaman menggerogoti hati Ayah Alex Bagaimana pun dia sosok seorang Ayah Alex. Ayah sedikit paham bahwa Agam telah melewati banyak masa sulit.

"Yah!" tegur Bunda saat tidak mendapatkan respon dari suaminya.

"Bun, kita dengerin dulu apa tujuan Agam kesini" jawab Ayah sambil tersenyum hangat.

Sedangkan Agam dengan ragu meletakkan plastik putih yang ia bawa tadi dan meletakkannya diatas meja kaca didepannya.

"Apa ini nak?" tanya Ayah Alex.

Agam pun menyunggingkan senyum tulusnya lantas berkata,
"Kemarin Agam belum sempat kasih kakak hadiah. Tadinya Agam mau kasih langsung tapi kayaknya kakak belum pulang sekolah. Agam titip hadiah ini buat kakak ya Om"

Mendengar ucapan tulus itu Ayah Alex merasakan dadanya sesak. Setelah kemarin dengan tega putranya mengusir sang adik, kini lihatlah betapa tulusnya seorang Agam.

Dengan senyum diwajahnya anak itu seolah berusaha terlihat baik-baik saja.

"Alex tidak memerlukan barang murahan seperti itu. Lebih baik kamu pulang sekarang!" sentak Bunda yang tidak suka dengan kehadiran Agam.

"Bun" tegur Ayah Alex yang jengan dengan sikap istrinya.

Agam pun mengganguk tanpa malu,
"Hadiahnya memang murah bu, tapi Agam memang cuma mampu beli itu"

"Ayah kok diam aja sih? Lebih baik suruh dia pulang, Ayah harus jemput kakak sekarang, sebentar lagi dia pulang" ujar Bunda yang membuat sang suami geram.

Agam memasang senyumnya, dimana-mana kehadirannya hanya bisa membuat onar saja.

"Agam juga mau pulang kok bu, sebelumnya Agam minta maaf karena kondisi Agam yang tidak sempurna. Agam tau ibu malu mengadopsi Agam karena kaki Agam yang satunya diamputasi. Tak apa, Agam cuma mau bilang terima kasih karena kalian udah ngerawat kakak dengan baik. Agam lega karena kakak punya keluarga yang menerima dia dengan baik. Agam titip kakak ya, setelah ini Agam janji gak bakal usik hidup kakak lagi" ungkap Agam sembari menatap hangat Bunda dan Ayah kakaknya.

Sejenak keadaan menghening. Bunda seolah tertampar dengan ucapan Agam. Pun Ayah yang hanya mampu bungkam.

Kinan yang tidak mengerti situasi yang tengah terjadi entah mengapa kini tangan mungilnya menepuk-nepuk pelan tangan Agam.

Membuat perhatian Agam teralih pada sosok mungilnya yang menatap Agam polos. Agam pun tersenyum hangat. Kinan hanyalah anak kecil. Tidak seharusnya Agam iri pada Kinan yang lebih disayang kakak.

Setelahnya Agam berdiri dibantu dengan kedua tongkatnya. Agam pun mendekat pada kedua orang tua kakaknya dan mencium punggung tangan mereka.

"Kalau gitu Agam pamit ya, Assalamualaikum"

Agam pun menganyunkan tongkatnya meninggalkan mereka. Sementara Ayah Alex mengusap wajahnya kasar lalu beranjak dari duduknya sembari membawa plastik yang tadi Agam bawa.

"Yah" panggil Bunda dengan suara pelan.

"Kita berdosa Bun. Karena sudah memisahkan kakak dari adiknya. Ayah mau jemput kakak sekarang, setelah itu menyusul Agam. Ayah berangkat ya" pamit Ayah Alex yang hendak melangkah sebelum suara Bunda membuat kakinya mendadak berhenti.

"Aku tau ini terlambat, tapi, bawa Agam pulang kerumah ini Yah. Aku harus memperbaiki semuanya" ucap Bunda dengan penuh rasa sesal.

Ayab mengangguk dan segera berlaku dari ruangan besar itu. Bunda tertunduk meratapi penyesalan. Hanya karena malu dengan kondisi Agam, Ia menutup mata pada anak itu.

Semoga dirinya masih bisa memperbaiki semuanya. Bukan demi dirinya. Tapi, demi Alex dan sosok Agam yang ia benci tanpa alasan.

¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

Maafkan typo.

Siap untuk ending?

19:52 WIB

21 Mei 2020

AGAM (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang